Indeks Tendensi Konsumen Menurun

Indeks Tendensi  Konsumen Menurun

BENGKULU, Bengkulu Ekspress - Masyarakat Bengkulu masih pesimis terhadap kondisi perekonomian Bengkulu, hal ini dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu yang menunjukkan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) triwulan III-2018 hanya sebesar 98,03 atau mengalami penurunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 100,81.

Penurunan ITK tersebut disebabkan disebabkan oleh menurunnya pendapatan rumah tangga dan volume konsumsi barang dan jasa. \"Angka ITK di bawah 100 mengindikasikan kalau kondisi ekonomi konsumen menurun dengan optimisme yang juga menurun, hal ini disebabkan oleh menurunnya pendapatan rumah tangga dengan indeks sebesar 97,84 dan volume konsumsi barang/jasa dengan indeks mencapai 96,49,\" kata Kepala BPS Provinsi Bengkulu, Dyah Anugrah Kuswardani MA, kemarin (11/11).

Selain itu, faktor penyebab menurunnya pendapatan rumah tangga dan volume konsumsi barang dan jasa juga diikuti oleh inflasi yang kurang berpengaruh terhadap total pengeluaran rumah tangga dengan besaran indeks mencapai 99,61. Bahkan berdasarkan hasil penghitungan Inflasi di Kota Bengkulu yang terjadi selama Juli-September 2018 (triwulan III) adalah -0,34 persen.

Sampai dengan September 2018, komoditas transpor, komunikasi dan jasa keuangan mengalami inflasi cukup tinggi yaitu sebesar 3,02 diikuti kelompok bahan makanan sebesar 2,79 persen, sementara komoditas yang mengalami inflasi rendah yaitu komoditas perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,61 persen. \"Selama Juli hingga September 2018, Bengkulu mengalami deflasi sebesar -0,34 persen, sehingga inflasi tidak berpengaruh kepada total pengeluaran rumah tangga,\" terang Dyah.

Bahkan, tidak hanya total pengeluaran rumah tangga saja yang mengalami penurunan, akan tetapi penurunan volume konsumsi rumah tangga mulai dari konsumsi makanan dan non makanan juga menurun, hal ini disebabkan oleh berakhirnya faktor musiman yaitu momen puasa Ramadan dan Lebaran. Selain itu juga terjadi penurunan pendapatan di beberapa sektor usaha.

\"Jadi setelah Ramadan dan lebaran, uang yang dimiliki masyarakat sudah mulai menipis, sehingga konsumsinya dikurangi ditambah lagi beberapa sektor usaha juga pendapatan menurun sejak libur panjang ramadan dan lebaran,\" jelas Dyah.

Tidak hanya itu, pesimisme masyarakat terhadap perekonomian di Bengkulu juga akan masih berlanjut hingga Triwulan IV-2018 dimana nilai ITK Provinsi Bengkulu diperkirakan mengalami penurunan hingga sebesar 92,23. Artinya kondisi ekonomi konsumen pada triwulan ini diperkirakan tetap mengalami pesimis atau mengalami penurunan jika dibandingkan triwulan III-2018 yang ITKnya sebesar 98,03.

Perkiraan penyebab pesimisme atau menurunnya ITK karena pendapatan rumah tangga yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 99,08dan rencana pembelian barang tahan lama, rekreasi, dan pesta/hajatan yang mengalamikontraksi dengan indeks 80,23.

\"Pada triwulan IV ini diperkirakan pendapatan rumah tangga mengalami pertumbuhan, akan tetapi pertumbuhan tersebut tidak diikuti oleh pembelian barang tahan lama, rekreasi dan hajatan karena masyarakat memilih menggunakannya untuk keperluan lainnya,\" tutup Dyah.

Sementara itu, Pakar Ekonomi Universitas Bengkulu, Prof Dr Lizar Alfansi mengaku, terjadinya kontraksi atau mengalami penurunan daya beli masyarakat terhadap barang tahan lama, rekreasi, dan pesta hajatan kemungkinan disebabkan bukan sesuatu kebutuhan yang begitu penting. Bisa saja masyarakat lebih dahulu mementingkan kebutuhan pendidikan ataupun transportasi.

\"Kita tidak bisa menduga, tetapi kebutuhan pendidikan dan transportasi bisa sangat penting bagi masyarakat, karena pada triwulan III nilainya masih diatas 100, jadi tidak ada hubungan dengan daya beli yang melemah,\" kata Lizar.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga yang menurun utamanya karena daya beli yang melemah. Daya beli diukur dengan banyaknya barang yang bisa dibeli oleh pendapatan yang ada. Artinya, jika jumlah barang yang dibeli berkurang jumlahnya karena harga barang tersebut naik, maka daya beli dari pendapatan tersebut turun. Turunnya daya beli ini membuat permintaan masyarakat terhadap barang-barang terutama yang bersifat sekunder turun.

Bahkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS mencatat sebesar 60% dari pengeluaran konsumen digunakan untuk membeli bahan makanan, sisanya untuk nonbahan makanan. \"Karena harga bahan makanan dalam dua beberapa bulan terakhir tidak menunjukkan penurunan, saya rasa masyarakat saat ini lebih mengutamakan konsumsi di bahan makanan, daripada non makanan,\" tutupnya. (999)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: