HONDA BANNER
BPBD

Nugroho Imam Setiawan, Dosen Geologi UGM Peneliti Antartika

Nugroho Imam Setiawan, Dosen Geologi UGM Peneliti Antartika

Nugroho menghabiskan waktu sekitar dua bulan di Antartika. Di sana dia melakukan survei geologi di tiga area, yakni di Pantai Prince Olav, Teluk Lutzow-Holm, dan Teluk Amundsen. Total ada delapan orang yang masuk di tim geologi. Selama di sana, Nugroho kerap tinggal di lapangan dengan mendirikan tenda.

Masing-masing mendirikan tenda berukuran 2 x 2 meter. Hanya ada satu tenda besar berkapasitas delapan orang yang digunakan untuk pertemuan dan makan. Bukan hal yang mudah mendirikan tenda di sana karena kondisi lapangan tidak selalu mulus. Sesekali Nugroho harus tidur di tenda dengan batuan tajam, bahkan di tengah cuaca badai salju.

Selama di sana, tidak pernah ada malam hari. Saat itu Antartika tengah memasuki musim panas sehingga matahari bersinar 24 jam setiap hari. Maka, Nugroho bersama rombongan JARE harus tidur dalam kondisi terang benderang.

Dalam tim geologi, semua memiliki satu tugas utama. Nugroho sendiri bertugas sebagai pencatat kondisi cuaca harian. Terkait pembagian tugas, Nugroho memiliki cerita tersendiri terhadap sosok Profesor Sotaru Baba. Peneliti dari Universitas Ryukyus itu diberi tanggung jawab sebagai koki.

”Pada saat memasak, kami semua membantu beliau menyiapkan bahan masakan dan memasaknya. Prof Sotaru Baba sangat memahami kondisi saya yang tidak memakan bahan makanan yang mengandung babi sehingga beliau selalu menyiapkan menu khusus untuk saya,” kenangnya.

Nugroho menjalankan rutinitas di Antartika dengan mengumpulkan sampel batu metamorf dan melakukan penjelajahan di sepanjang area. Setiap hari rombongan tim geologi JARE harus menempuh jarak 5–10 kilometer untuk melakukan penelitian. Sampel batuan yang dibawa di tas punggung juga menambah beban selama perjalanan. ”Beratnya bisa 15 sampai 20 kilogram,” ungkap Nugroho.

Untuk kebutuhan logistik, dalam beberapa waktu ada helikopter dari kapal Shirase yang membawa bahan makanan dan keperluan lain mengantarkan langsung ke lokasi para peneliti. Terkadang cuaca sangat buruk juga menerpa rombongan JARE. Situasi itu biasanya digunakan rombongan untuk beristirahat mengisi tenaga. Nugroho bercerita, di sela penelitian, dirinya berkesempatan mengunjungi Syowa, stasiun penelitian milik Jepang di Antartika. ”Saya di sana selama tiga hari,” katanya.

Selama di Syowa, Nugroho memanfaatkan kesempatan itu untuk satu hal langka, yaitu mandi. Selama di lapangan melakukan penelitian, Nugroho bersama rombongan JARE tidak pernah mandi. Dia hanya dibekali handuk basah yang mengandung antibiotik untuk membasuh seluruh badan selama di lapangan. ”Selain suhu dingin, menggunakan peralatan kimia untuk mandi bisa mencemari Antartika sehingga dilarang,” jelas Nugroho. Bahkan, kotoran seperti feses pun dilarang untuk dibuang. Semuanya harus dibawa untuk dibuang di kapal atau di Stasiun Syowa.

Komunikasi juga menjadi masalah tersendiri bagi Nugroho. Sebab, Antartika sudah pasti tidak terjangkau jaringan telepon seluler apa pun. Nugroho hanya membekali diri dengan telepon satelit untuk berkomunikasi. Kuota itu yang dia maksimalkan untuk bisa menghubungi keluarga selama dua bulan di Antartika. ”Komunikasi juga harus dibatasi karena kuota teleponnya hanya seratus menit,” ujarnya.

Satu hal yang disyukuri Nugroho selama penelitian adalah tidak pernah terkena sakit. Sebelum berangkat, Nugroho memang mengikuti saran JARE untuk diberi vaksin influenza dan tetanus. Luka-luka lantaran terpeleset, terantuk batu, terpukul palu, dan lecet di perjalanan menjadi hal biasa yang ditangani seketika. Bahkan, selama perjalanan pergi dan pulang naik kapal, Nugroho adalah sosok yang tahan banting. ”Kondisi gelombang samudra selatan sangat tinggi dan bisa membuat kapal miring 30 derajat. Saat sebagian besar mabuk laut, saya tidak pernah,” ujarnya.

Kini, menjelang akhir perjalanannya, Nugroho sudah sangat ingin melepas peluk rindunya dengan keluarga. Dia juga sudah ingin mencicipi ayam goreng kremes dan rawon kesukaannya. Selain itu, dari hasil penelitian, Nugroho memiliki keinginan besar.

Salah satunya, memublikasikan hasil penelitian tersebut dalam jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional. Sebagian sampel batuan yang dibawa saat ini akan disumbangkan ke museum geologi. Sebagian lagi digunakan untuk bahan ajar mahasiswanya di kampus. ”Saya harap ini dapat membuat mahasiswa meneladani dan mengikuti jejak saya serta bisa lebih baik daripada yang saya hasilkan,” tutur Nugroho.

Bagi Indonesia, Nugroho berharap ke depan lebih banyak keterlibatan peneliti tanah air ke Antartika. Sebagai negara besar dan negara kepulauan, banyak sekali topik riset di Antartika yang berhubungan langsung dengan Indonesia.

Meneliti lubang ozon di atas kutub selatan contohnya. Hal itu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pelelehan es terjadi di Antartika dan bagaimana dampaknya terhadap naiknya muka air laut pada pulau-pulau di Indonesia. ”Sebagai negara maritim, Indonesia juga selayaknya meneliti biologi laut ataupun oseanografi secara komprehensif. Sebab, arus laut dari selatan menuju Indonesia berasal dari Antartika,” tutur Nugroho. (*/c9/owi)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: