Mahfud MD: Tax Amnesty Perlu Penguatan

Senin 19-12-2016,09:00 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi

BENGKULU, BE- Pakar Hukum Tata Negara, Profesor DR Mahfud MD menilai penerapan UU tax amnesty (Pengampunan Pajak) tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan permasalahan perpajakan di Indonesia.

Dia mengkhawatirkan pengampunan pajak tersebut hanya dijadikan alat pemutihan atau bahkan pencucian uang.

Sehingga tidak ada jaminan bahwa setelah diberi pengampunan kemudian para mafia pajak tersebut tidak melakukan hal yang sama dimasa yang akan datang.

\"Dikhawatirkan tax amnesty hanya dijadikan jalan penghalalan uang haram melalui pencucian uang,\" ungkapnya dalam acara seminar nasional Tax Amnesty dan Pengembangan Usaha yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) di gedung KH Ahmad Dahlan kampus IV UMB, Sabtu (17/12).

Dijelaskan Mahfud, di era Presiden Soharto pemerintah juga pernah melakukan kebijakan pengampunan pajak tetapi tidak efektif karena kurangnya respon terhadap wajib pajak dan tidak ditindak lanjuti dengan reformasi administrasi perpajakan.

Selain itu, pada era Presiden SBY juga pernah diterapkan sunset policy yang diberlakukan selama 14 bulan dan berhasil meraup keuntungan 7,46 triliun. Namun, upaya pengampunan pajak yang diberikan oleh pemerintah tersebut malah dijadikan kesempatan oleh para mafia pajak.

\"Dulu juga pernah diterapkan. Tapi ketika sudah diampuni besoknya malah ngulang lagi nunggak pajak,\" bebernya.

Lanjutnya, jika tax amnesty hanya dijadikan kebijakan eksklusif yang tidak disertai dengan politik hukum yang lebih komprehensif maka kecenderungannya akan menjadi tidak efektif. Sehingga kebijakan tax amnesty tersebut akan selalu harus diulangi.

Untuk itu, ia berpendapat, bila tidak ada langkah yang tegas maka UU tax amnesty hanya akan sia-sia.

Menurutnya, penerapan UU tax amnesty haruslah diiringi dengan upaya penegakan hukum terhadap pelanggar pajak. Bila tidak negara ini akan selalu dipermainkan oleh mafia pajak untuk terus meminta pengampunan pajak.

\"Saya setuju dengan adanya UU tax amnesty bila diiringi dengan langkah-langkah simultan. Karena bila tidak, itu orang bakal melanggar lagi dan minta tax amnesty lagi,\" tandasnya.

Untuk itu, Mantan Menteri Kehakiman di era Presiden Gusdur tersebut menyarankan agar penerapan UU tax amnesty tersebut tidak terkesan sia-sia makan yang pertama harus dibenahi secara serius adalah dilingkungan Direktorat Jendral Pajak (DJP).

Karena menurutnya, dalam penetapan pajak sering kali bisa dipermainkan oleh wajib pajak dengan bekerjasama dengan petugas DJP. \"Permainannya kadang kala bukan sekedar rayuan atau penyuapan oleh wajib pajak, tetapi pegawai lapangan DJP juga sering menawarkan jasa kepada wajib pajak untuk berbuat yang tidak benar,\" tegasnya.

Untuk itu ia mengusulkan menjadikan lembaga pengelola pajak sebagai lemaga negara tersendiri yang langsung berada di bawah Presiden. Tidak lagi menjadi bagian dari Kementerian Keuangan. Dengan demikian, akan lebih memudahkan penanganan perpajakan karen a bisa lebih cepat dan fokus.

Lanjutnya, pengadilan pajak juga harus diperkuat sebagai lembaga yang mandiri yang bernaung dibawah lingkungan peradilan umum di Mahkamah Agung (MA). Pengadilan pajak juga perlu diletakkan dibawah satu atap. Tidak lagi dibina secara dialistis antara teknis dan bidang lainnya.

Untuk itu hakim ad hoc di Pengadilan Pajak harus ditiadakan. Selain itu Mahfud mengatakan, pembenahan lembaga penegak hukum juga menjadi kunci yang politik hukum perpajakan agar pemahaman bersama tentang kompetensi dan fungsi masing-masing institusi.

Mahfud menerangkan, tax ratio perpajakan Indonesia saat ini hanya berkisar 11% jauh dibawah rata-rata negara ASEAN lainnya yang mencapai sekitar 15-16 %. Disisi lain, dengan tax ratio yang hanya 11% tersebut sektor pajak menjadi penyumbang terbesar dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yaitu sebesar 75%.

\"Bayangkan bila seandainya tax ratio itu bisa ditingkatkan menjadi 15%, bisa naik APBN kita,\" bebernya.

Kendari demikian, Mahfud menyebutkan, masih banyak pelanggaran-pelanggaran dalam perpajakan.

Ia mencontohkan, masih banyak wajib pajak yang bermain dengan petugas pajak dan aparat penegak hukum untuk melarikan uangnya ke luar negeri untuk menghindari kewajiban membayar pajak.

Alasan pemerintah memberlakukan UU tax amnesty tersebut sebagai langkah strategis untuk mencapai target penerimaan pajak ditahun 2016 yaitu sebesar Rp 1.260 triliun.

Hal tersebut dilakukan mengingat terjadinya pelambatan pertumbuhan ekonomi sehingga kebutuhan dana untuk proyek nasional semakin meningkat.

Padahal menurut Mahfud, pemerintah tidak memperhitungkan besarnya modal yang lari keluar negeri untuk menghindari pajak.

Selain itu, narasumber lainnya Profesor DR Edy Suandi MEc mengatakan, tanpa pengampunan pajak maka penerimaan pajak akan jauh dibawah target pemerintah. Target penerimaan pajak dalam APBN turun dari target awal sebesar Rp 1.546 triliun menjadi Rp 1.539 triuliun di APBN Perubahan. Oleh karena itu, menurutnya, untuk menutup kekurangan yang ada pemerintah menargetkan sampai akhir Maret 2017 memperoleh pendapatan pajak dari pengampunan pajak sebesar Rp 165 triliun.

\"Berdasarkan angka deklarasi jumlah uang tebusan amnesti pajak hingga minggu kedua Desember mencapai Rp 100 triliun, atau sekitar 60,60 % dari target penerimaan uang tebusan sebesar Rp 165 triliun,\" pungkasnya.

Ia menjelaskan, pengampunan pajak tidak akan mempersulit dunia usaha. Tax amnesty berbeda dengan penarikan pajak dari masyarakat umumnya. Pengampunan pajak yang dilakukan pemerintah saat ini adalah upaya menarik kembali dana orang Indonesia yang ada di luar negeri, dan menarik pajak dari pemilik dana yang tidak membayar pajak selama ini.(cw1)

Tags :
Kategori :

Terkait