Menjadi Santri Kyai Maimun di Hari Santri

Senin 31-10-2016,08:30 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi

 

Oleh Dahlan Iskan

Lima hari sebelum ditetapkan sebagai tersangka Dahlan Iskan sempat sowan ke Kyai Maemun Zubair, Rembang. Inilah tulisannya yang tertinggal di rumahnya saat itu:

****

Usia sudah 90 tahun tapi masih aktif mengajar. Suaranya masih lantang, wajahnya masih segar dan saat mencermati kitab beliau tidak mengenakan kaca mata. Bahkan seperti di hari Minggu kemarin, mengajarnya tiga kali. Itulah sosok Kyai Maimun Zubair, tokoh sentral pondok bintang sembilan Sarang, Rembang, tiga kilometer di sebelah barat perbatasan Jatim-Jateng. Saya menjadi salah satu santri dadakannya kemarin. Terselip di antara 15-an santri-tetap yang setiap minggu mengikuti jurusan mata pelajaran ini. Kami semua menyimak kitab yang lagi dibahas. Yang tulisannya menggunakan huruf Arab gundul (tidak ada tanda bacanya). Para santri itu mengenakan sarung dan duduk bersila di lantai di hadapan kyai. Dengan sebuah kitab tua di pangkuan masing-masing. Sedang saya yang mengenakan sarung duduk di sofa di sebelah Kyai Zubair mengajar. Tentu juga memangku kitab yang dimaksud. Meski saya diminta duduk di samping Kyai, bukan berarti kemampuan saya di atas para santri itu. Saya pasti kalah, terutama dalam penguasaan Arab-gundulnya. Saya memang pernah belajar ilmu nahwu-shorof-balaghah (tata bahasa dan sastra) selama enam tahun tapi tidak sedalam para santri itu. Pelajaran yang saya ikuti di pondok Sarang kemarin itu adalah filsafat. Pelajaran tertinggi di pondok. Karena itu yang mengikutinya hanya 15-an santri. Padahal jumlah santri di pondok Sarang ini 4.000 orang. Filsafat, atau di situ disebut tasawuf, memang pelajaran ter-elit di pondok pesantren. Kian tinggi tingkatan tasawuf kian sedikit santrinya. Dari total 140 santri yang memperdalam ilmu tasawuf hanya 15 orang itu yang mencapai tingkat tertinggi kemarin. Karena itu Kyai Maimun sendiri yang mengajarkannya. Beberapa informasi melegakan juga diselipkan di sela-sela pelajaran itu. Para santri tasawuf itu, katanya, kini diakui oleh pemerintah setingkat dengan mahasiswa S1 jurusan filsafat. \"Berarti di sinilah jurusan filsafat yang paling banyak mahasiswanya,\" ujar beliau. Mata pelajaran yang dikaji Kyai Maimun kemarin adalah \"sarah ihya\' ulumuddin\". Satu pelajaran filsafat dengan pegangan kitab karya Imam Al Gozali itu. Kami pun masing-masing menyimak karya yang ditulis 1.500 tahun yang lalu itu. Gaya Kyai Maimun mengajarkan mata pelajaran itu mengingatkan saya pada apa yang saya alami waktu masih remaja. Kyai Maimun membaca sarah itu dalam bahasa Arab lalu menjelaskan maksudnya dalam bahasa Jawa. Kadang dicampur Arab, Jawa dan beberapa istilah Inggris. Bab yang lagi dibahas kemarin adalah soal zuhud. Ajaran untuk memiliki kemampuan mengendalikan diri dari godaan-godaan duniawi. Termasuk agar bisa melawan kesenangan berhura-hura, gila harta dan kecintaan pada yang serba kebendaan. Dalam bahasa sekarang: agar tidak mata duitan. Tata warna, dekorasi dan pertunjukan adalah salah satu bentuk godaan itu. Lalu tetabuhan seperti alat musik. Lalu suara merdu, bernyanyi. Lalu gerak tubuh yang kini disebut goyang, tentu termasuk jenis goyang terbaru seperti goyang ulek-elek sampai goyang grobyak-grobyak. Semua itu, ujar Kyai Maimun, boleh saja. Tidak haram. Tapi seorang tasawuf harus bisa mengendalikan dirinya, untuk tidak sampai terlarut di dalamnya. Kalau pun melakukan itu tidak boleh sampai berakibat pada timbulnya ketertarikan pada kebendaan. Itulah pemahaman dan penangkapan saya. Kalau saya salah tangkap, kesalahan itu ada pada saya. Bukan pada Kyai utama NU itu. Bukan pada Kyai khos berusia 90 tahun itu. Usia 90 tahun masih aktif mengajar, masih bisa mendengar dengan sangat baik, masih belum berkacamata, bicaranya masih lancar, ingatannya masih tajam (termasuk saat menceritakan perkembangan Islam sejak abad pertama) dan logika berpikirnya sangat mantik. Alangkah berkahnya.

Tags :
Kategori :

Terkait