Selamat Datang Bunga Rendah Rasa Berdebar

Senin 29-02-2016,08:11 WIB
Reporter : redaksi
Editor : redaksi

 

Oleh: Dahlan Iskan

Sebenarnya ini keberhasilan besar. Besar sekali: pemerintah berhasil memaksa bank untuk menurunkan bunga pinjaman. Betul. Pemerintah betul. Sudah terlalu lama dunia perbankan menikmati bunga tinggi. Sampai laba perbankan di Indonesia luar biasa tingginya. Termasuk tertinggi di dunia. Bank-bank asing pun ikut berbahagia.

Mestinya, peristiwa \"bunga rendah\" ini disambut gegap gempita. Terutama oleh dunia usaha. Ini luar biasa. Ini bersejarah.

Inilah saatnya penganut aliran \"bunga rendahlah yang mendorong ekonomi\" berkibar. Mengalahkan penganut aliran ekonomi pasar. Presiden, Wapres, Menko Perekonomian kali ini kompak. Kebetulan Menko Perekonomiannya, Darmin Nasution memang dari aliran \"bunga rendah\" ini. Bacalah bukunya. Yang terbit saat Darmin mengakhiri masa jabatannya sebagai gubernur Bank Indonesia. Tiga tahun lalu. Buku yang sangat bagus. Terlihat jelas di situ. Dia berideologi bunga rendah.

Saya sendiri ikut bergembira. Tapi saya masih harap-harap cemas. Sedap-sedap ngeri. Di satu pihak saya sangat senang. Di lain pihak saya tahu: keberhasilan bunga murah memerlukan banyak syarat. Salah satunya: inflasi harus juga rendah. Bisakah pemerintah membuat inflasi rendah? Dan stabil? Dan dalam waktu yang panjang? Menurut hukum ekonomi yang lazim, pemerintahlah yang lebih dulu membuktikan bisa membuat inflasi rendah. Ini berarti pemerintah terbukti bisa menjaga harga-harga tidak naik. Setelah itu terbukti dunia perbankan harus menurunkan bunga. Kalau bandel barulah dipaksa.

Kali ini rupanya hukum itu akan dibalik: suku bunga dulu yang harus rendah. Nantilah. Inflasi akan ikut rendah. Tentu ini bukan tontonan. Tapi cerita yang dibalikkan itu menarik untuk disaksikan. Dengan berdebar. Menanti akhir dari cerita itu.

Skenario 1 : Bunga turun, ekonomi bergairah, produksi naik, infrastruktur beres, logistik effisien dan seterusnya. Inflasi pun akan rendah. Bunga rendah pun bisa terus dipertahankan. Bahkan dibuat lebih rendah lagi. Itu skenario happy ending. Meski awalnya berdebar, akhirnya membuat penonton tersenyum. Bahagia. Skenario 2 : bunga rendah, ekonomi bergairah. Tapi produksi tidak naik. Infrastruktur tidak ok. Jalan macet, listrik mati-mati, pelabuhan ruwet, birokrasi lambat. Akibatnya harga-harga naik. Inflasi tinggi. Kalau skenario 2 ini yang terjadi itulah skenario tragic ending. Dalam waktu dua tahun dunia perbankan sesak nafas. Termehek-mehek. Tidak kuat lagi. Ekonomi runtuh secara mendasar.

Perbankan yang semula dipaksa ibarat dokter yang harus menyembuhkan pasien justru dia sendiri yang sakit. Dunia perbankan sudah berhasil takluk. Ditaklukkan. Masa depan perbankan sepenuhnya menunggu kinerja ekonomi pemerintah.

Kalau pemerintah berhasil menjaga inflasi maksimum 3,5 persen, dunia perbankan selamat. Kalau sebaliknya, dunia perbankan wassalam.

Mampukah pemerintah menciptakan inflasi maksimum 3,5 persen? Bisakah pemerintah meningkatkan produksi di segala bidang? Lalu mengendalikan harga-harga? Dalam waktu yang panjang?

Seharusnya bisa. Terutama karena ini: harga minyak mentah dunia turun begitu rendahnya. Tapi kenaikan harga-harga beras, daging, cabe dan sejenisnya membuktikan hal yang sebaliknya. Sungguh berat tugas pemerintah saat ini. Meningkatkan produksi bukanlah masalah sepele. Peningkatan produksi tidak sama dengan \"citra meningkatnya produksi\". Yang satu berada di dunia nyata. Yang satunya di dunia fatamorgana.

Pidato, ancaman, gertakan dan hukuman tidak berpengaruh langsung ke peningkatan produksi. Baik produksi pertanian, lebih-lebih lagi produksi industri.

Kalau produksi bisa meningkat, pasar dalam negeri penuh dengan barang produksi sendiri. Lalu bisa ekspor. Dampaknya pada penguatan ekonomi luar biasa.

Saya menyambut gembira datangnya rejim suku bunga murah. Meskipun melalui pemaksaan. Saya bangga dengan skenario 1.

Tapi saya juga menyiapkan nafas cadangan untuk jaga-jaga terhadap skenario 2. (**)

Tags :
Kategori :

Terkait