JAKARTA - Sistem pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah (Pilkada) yang bakal dihelat pada Desember 2015 mendatang dinilai mengalami kemunduran. Penyebabnya, pelaku money politics (MP) atau politik uang tidak bisa dipidana. Alhasil, Pilkada tahun ini diprediksi akan penuh dengan permainan uang. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Bidang Kajian Hukum, Nelson Simanjuntak membenarkan bahwa dalam Perppu No 1 Tahun 2014, UU No 1 Tahun 2015 maupun UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menyebutkan memberi atau menjanjikan uang kepada pemilih memang dikenai pidana. Namun tidak bisa ditindaklanjuti ke pengadilan. \"Masalahnya adalah ketentuan pidananya tidak ada. Misalnya memberi uang begini-begitu, diancam dengan hukuman pidana ini atau itu. Namun, itu tidak ada. Baik di Perppu, UU No 1 maupun UU No 8,\" kata Nelson. Seperti dalam UU No 1 Tahun 2015 Pasal 73 ayat 1 hanya mengatakan bahwa calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih. Lalu ditambah ayat 2 ; calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan kenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut kajian Bawaslu agar bisa diterapkan proses pidananya di pengadilan, harus ada ketentuan sanksinya. \"Rumusannya kira-kira begini : barang siapa memberikan, atau setiap orang memberikan atau menjanjikan seseorang pidana penjara, atau denda sekian. Nah tidak ada norma itu,\" tambah Nelson. \"Masuk pidana Pilkada iya. Tapi itu tidak operasional. Kalau mau operasional, harus ada ancaman hukumannya atau sanksinya. Sanksinya harus ada, Ini kan tidak ada,\" imbuh Nelson. Bawaslu tidak bisa membuat sanksi atau ancaman pidana dalam Peraturan Bawaslu. \"Kalau mau membuat ancaman atau sanksi, itu harus ada di UU atau Perda. Perda pun terbatas, maksimum 6 bulan,\" paparnya. Bahkan pelaku MP tidak bisa diberikan sanksi administrasi. Karena sebelum diberi sanksi administrasi, harus terlebih dahulu dibuktikan di pengadilan. Sementara UU Pilkada tidak mengatur sanksi pidana tersebut. \"Siapa yang membuktikan? Karena tidak ada norma pidananya, tidak bisa dibawa ke pengadilan. Lalu siapa yang membuktikan ? Harus ada pengadilan yang menyatakan bahwa perbuatan itu terbukti,\" tandas Nelson. Dikatakan, memang dalam KUHP mengatur tentang sanksi pidana bagi pelaku Pemilu. \"Tapi penanganan menjadi rumit, karena bukan hukum Pemilu. Bagaimana prosedur penanganannya ? Ini jadi penting saat penegakan hukum pidana. Karena dalam penegakan hukum bukan hanya pidana yang dipersoalkan, tetapi juga hukum formilnya,\" tukas Nelson. Harus ada gerakan bersama agar dapat menekan terjadinya MP. \"Gerakan moral yang harus diutamakan,\" bebernya. Apalagi sebenarnya pengawasan dapat diminimalisir dengan memfokuskan pada sumber pemberi uang. \"Yang melakukan MP itu siapa ? Kan pasangan calon atau tim sukses. Sumbernya pasti berasal dari pasangan calon. Tidak mungkin tim sukses nyelonong sendiri tanpa koordinasi atau perintah dari pasangan calon,\" lanjutnya.Bawaslu juga tidak bisa berbuat banyak dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pilkada. Apalagi memasukan ketentuan agar pelaku MP dapat dipidana dalam Peraturan Bawaslu. \"Bawaslu tidak bisa membuat hukum baru,\" pungkasnya.
KPU: Tetap Dipidana Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan pelaku Money Politics (MP) harus tetap dipidana. Komisioner KPU, Ida Budhiati menegaskan sanksi pidana bagi pelaku MP sudah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Meskipun tidak ada norma sanksi pidana, seperti ancaman penjara, namun versi KPU tetap bisa diproses ke pengadilan. \"Harus dilihat dari UU No 1 tahun 2015. Jadi UU No 8 hanya mengatur soal perubahannya,\" kata Ida. Seperti ada di UU No 1 Tahun 2015 Pasal 73 ayat 1 hanya mengatakan bahwa calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjajikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih. Lalu ditambah ayat 2 ; calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan kenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. \"Di UU ada kan. Di pasal-pasalnya,\" tambah Hadar. Selain ketegasan sanksi pidana, juga ada sanksi administasi yang tegas. Bila ketahuan MP, dan diproses setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap atau incrah, pasangan kandidat bisa disanksi tegas. \"Bisa dibatalkan,\" tukas Hadar. Dia menegaskan, MP tindak pidana dalam Pilkada yang serius. \"Sanksi administrasinya sangat besar, yaitu dibatalkan. Pencalonan, bisa dibatalkan dalam pencalonan. Kalau terpilih, dibatalkan calon terpilih. Kalau dibatalkan, tidak boleh diganti,\" Hadar. (rik/RP)
*Versi Bawaslu : Money Politcs (MP) tidak bisa dipidana karena tidak terdapat norma ancaman atau sanksi pidana dalam Perppu No 1 Tahun 2014, UU No 1 Tahun 2015 maupun UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.Pasal 73 Ayat 1 ; Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Ayat 2 ; Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
*Versi KPU : Dapat dipidana karena sudah diatur larangan dan dikatakan bahwa dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.