Indonesia punya konsul termuda yang kini bertugas di Negara Bagian Utara Australia. Dia adalah Andre Omer Siregar. Konsul 40 tahun itu mengawali karir sebagai diplomat sekaligus penerjemah (interpreter) untuk Presiden SBY selama 10 tahun.
Laporan Mochamad Salsabyl Ad\'n, Jakarta
SANTAI, cerdas, dan ramah. Itulah kesan pertama ketika Jawa Pos bertemu Andre Omer Siregar di sela Rapat Kerja Kepala Perwakilan RI (Raker Keppri) 2015 di kantor Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Jakarta, 3 Februari lalu.
’’No worries, Dude (Jangan khawatir, Bro, Red),’’ jawab Andre ketika Jawa Pos meminta waktu untuk wawancara via telepon.
Sebagai pejabat perwakilan baru di Northern Territory (NT) Australia, Andre senang mendapat kesempatan untuk mengungkapkan program-programnya di media. Tidak bermaksud pamer bahwa dirinya merupakan konsul termuda, Andre merasa perlu mengangkat Darwin, ibu kota NT Australia, sebagai kota penting dalam hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Menurut dia, Darwin selama ini masih menjadi kota bayangan Sydney, Perth, dan Canberra.
’’Padahal, NT adalah wilayah Australia yang sangat berhubungan dengan Indonesia. Wilayah di sini berbatasan langsung dengan NTT, NTB, dan Papua. Isu-isu ekonomi, sosial budaya, hingga narkoba dan trafficking (penyelundupan manusia, Red), semua terkait dengan perbatasan Indonesia-Darwin,’’ terangnya.
Memang, Andre masih masuk kategori anak bawang di kalangan pimpinan perwakilan RI di luar negeri. Maklum, pria yang saat ini gandrung lari saat pulang kantor itu baru menginjakkan kaki di Darwin pada 18 Desember 2014. Otomatis, pengalamannya menjadi konsul masih seumur jagung. Meski demikian, dia langsung tancap gas begitu memulai tugas.
’’Waktu saya baru tiba, Darwin sedang memeringati 40 tahun Cyclone Tracy. Yakni, peringatan hancurnya Kota Darwin karena bencana. Jadi, tugas pertama saya saat itu menghadiri peringatan tersebut,’’ ujarnya.
Kendati menjadi konsul jenderal termuda, Andre tampak pede. Tidak tampak sedikit pun dia minder di hadapan para seniornya yang bertugas di negara-negara superpower sekalipun. Karena itu, ketika ada kesempatan untuk menjadi satu di antara enam pembicara dalam rapat pleno Raker Keppri, 2–4 Februari lalu, Andre langsung mengajukan diri.
’’Saya memang mengacungkan tangan karena merasa ada yang perlu saya utarakan,’’ ungkap alumnus S-1 Victoria University Wellington, Selandia Baru, tersebut.
Saat itu, Andre memaparkan pentingnya Darwin dalam peningkatan hubungan diplomasi ekonomi Indonesia-Australia. Menurut dia, karakteristik wilayah Australia Utara mirip dengan Indonesia Timur. Belum berkembang, namun punya banyak potensi. Masing-masing pemerintah pun berniat mengembangkan kawasan itu. Jadi, dua wilayah tersebut seharusnya bisa bersinergi karena banyaknya kesamaan serta secara wilayah berdekatan.
’’Setelah pemaparan saya tersebut, Dubes Australia bilang bahwa dirinya sampai tidak kepikiran itu. Saya dipuji karena berbicara dengan lugas dan bisa diaplikasikan. Saya juga senang mendapat apresiasi seperti itu,’’ tuturnya.
Memang, sejatinya Andre tidak asing di kalangan diplomat. Dia adalah anak diplomat senior Ibnu Ash Djamil Siregar yang berkarir sejak 1964. Ibnu adalah keponakan Adam Malik, legenda diplomat Indonesia yang juga pernah menjadi wakil presiden.
’’Jadi, saya boleh dibilang cucunya Adam Malik. Tapi, tidak berarti saya langsung tertarik ke dunia (diplomasi) ini. Saya sekolah sampai S-2 di bidang ekonomi,’’ jelasnya.
Dia baru mempunyai minat menjadi diplomat pada 1998, saat terjadi Tragedi Trisakti yang menewaskan beberapa mahasiswa. Merasa terpanggil, lulusan S-2 Monash University Melbourne, Australia, itu langsung melamar ke Kemenlu. Namun, dia melamar tanpa sepengetahuan orang tuanya.
’’Ayah waktu itu masih aktif sebagai Dubes di Yaman. Beliau baru saya beri tahu ketika saya diterima. Beliau kaget karena sebelumnya saya menolak mengikuti jejaknya,’’ terangnya.
Tak diperlukan waktu lama bagi cucu Adam Malik itu untuk menunjukkan kemampuan diplomasinya. Saat Kemenlu membutuhkan diplomat untuk dikirim ke Timor Timur (sekarang Timor Leste) ketika terjadi konflik, Andre menjadi salah seorang di antara tiga diplomat muda yang menyanggupi tugas berat tersebut.
Di Timtim itulah tugas Andre sebagai interpreter (penerjemah) mulai dijalani. Kala itu di sana ada sidang mahkamah PBB. Banyak terjadi kesulitan komunikasi. Orang Timtim sering marah-marah dengan bahasa yang tidak dimengerti hakim dari PBB tersebut.
”Saat itulah saya mendapat tugas menjadi interpreter. Setiap hari saya menjadi penerjemah percakapan dua arah dalam sidang mahkamah PBB itu. Berjam-jam lamanya.”
Tugas tersebut rupanya menentukan arah hidup Andre dalam 15 tahun ke depan. Beberapa kali dia juga menjadi interpreter di seminar internasional mengenai hukum dan HAM. Sampai suatu hari, penerjemah mantan Presiden Megawati sakit. Andre lalu diajukan sebagai penerjemah pengganti saat Megawati bertemu Perdana Menteri John Howard untuk membahas keterlibatan Australia di Iraq.
”Tugas saya itu dinilai baik. Saya langsung dilirik pak Sekjen (Kemenlu), pak Menlu, termasuk Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang saat itu menjadi Menko Polhumkam. Sejak itu saya sering menjadi interpreter dalam beberapa pertemuan bilateral penting. Baik untuk Bu Mega maupun Pak SBY,” terangnya.
Karir Andre makin moncer. Dia lalu ditugaskan di Washington, AS, dan baru kembali ke tanah air pada 2008. Pengalaman di AS itu tentu memberikan jam terbang tinggi bagi tugas diplomasi Andre. Sebab, banyak agenda pemerintah yang mesti dikomunikasikan dengan negara setempat.
Tugas Andre sebagai full time interpreter akhirnya didapat pada 20 Januari 2011. Andre yang kala itu bersiap untuk bertugas ke Jenewa, Swiss, tiba-tiba dipanggil ke Cikeas (kediaman Presiden SBY). ”Dari sana saya akhirnya sepenuhnya menjadi interpreter bapak presiden,” terangnya.
Andre hafal betul soal kebiasaan SBY saat berbicara dengan pemimpin negara lain. Menurut dia, SBY sering lupa jika yang diajak bicara adalah pejabat asing. Saat asyik berbicara, tanpa sadar dia menggunakan bahasa Indonesia dengan cepat. Akibatnya, penerjemah sering keteteran. Kalau sudah begitu, penerjemah jadi sering salah. Buntutnya, dia kena tegur sang presiden.
Selain kisah sukses, ada peristiwa yang memalukan dirinya sebagai interpreter. Meski bukan kesalahan fatal, hal itu membuat publik mengkritiknya. ”Saya ingat saat itu Pak SBY bertemu Presiden Austria Heinz Fischer. Ternyata, suara saya dari booth (tempat interpreter) tidak keluar. Nah, Pak SBY tampak kesal karena komunikasinya tidak lancar. Saya lalu disuruh keluar. Spontan saya keceplosan bilang mati gua, karena bapak (SBY, Red) marah. Besoknya ada berita di koran yang menyebutkan bahwa penerjemah SBY takut karena tak bisa menerjemahkan,” bebernya.
Namun, insiden-insiden itu tak mengganggu tugas-tugas SBY sebagai presiden. Bahkan, berkat kepiawaiannya sebagai penerjemah presiden, Andre mendapat kehormatan menjadi konsul termuda yang ditempatkan di Negara Bagian Australia Utara.
”Pak SBY pernah nyeletuk, ’Saya tahu Pak Andre itu usahanya 100 persen. Bahkan kadang 110 persen. Saya belum selesai ngomong pun sudah diterjemahkan. Tapi, tolong biarkan saya selesaikan kalimat dulu,’” ingatnya lantas tertawa.
Selain pengakuan dari SBY, Andre pernah mendapat apresiasi dari Duta Besar Indonesia di Moskow Djauhari Oratmangun. Menurut Djauhari, nasionalisme Andre cukup tinggi.
”Saya ingat betul bagaimana dia bersedia membagi booth untuk menyelundupkan anak buah saya mengikuti summit. Tempat sempit itu dipenuhi tiga orang, tapi dia tetap menjalankan tugas dengan baik dan lancar,” terang Andre menirukan komentar Djauhari. (*/c5/c9/ari)