Oleh: Dahlan Iskan SALAH satu kebebasan yang saya nikmati saat ini adalah bisa kembali belajar dengan leluasa. Belajar apa saja. ------ DULU, saya mewajibkan diri agar setiap enam bulan sekali \"belajar\" ke Amerika Serikat: shopping idea, belanja ide. Itulah sebabnya mengapa perkembangan Jawa Pos di kemudian hari menjadi \"sangat Amerika\". Beda dengan koran-koran Jakarta saat itu yang \"sangat Eropa\". Belakangan, ketika Tiongkok majunya luar biasa, saya jarang ke Amerika. Belajarnya pindah ke Tiongkok. Begitu sering saya ke negeri panda itu. Setahun bisa delapan kali. Bahkan pernah 12 kali. Jarak Tiongkok yang begitu dekat membuat saya bisa belajar lebih sering. Kalau ke Amerika shopping saya shopping idea, ke Tiongkok saya shopping spirit. Spirit ingin maju. Di Tiongkoklah saya melihat sebuah masyarakat yang keinginan majunya begitu tinggi. Hasilnya pun nyata. Dalam sekejap Tiongkok mengalahkan Jerman. Kemudian Jepang. Dan mungkin tidak lama lagi mengalahkan biangnya: Amerika. Sejak menjadi pejabat pemerintah tiga tahun lalu semua kenikmatan itu berakhir. Saya harus tahu diri. Menjadi pejabat tidak boleh sering-sering ke luar negeri. Biar pun ke luar negeri untuk urusan menteri dengan menggunakan uang pribadi. Sering ke luar negeri tetaplah tidak sopan. \"Merdeka!\" teriak saya dalam hati. \"Kenapa senyum-senyum sendiri?,\" tanya istri saya. \"Besok saya ke Tiongkok,\" jawab saya. \"Lho besok kan ke Lingga?,\" sergah istri saya. Menurut jadwal saya memang harus ke pulau Lingga dan pulau Singkep. Untuk menyiapkan program sosiopreuneur di lahan-lahan rusak bekas tambang timah. \"Ya dari Lingga kan bisa langsung ke Tiongkok. Lewat laut. Ke Singapura dulu,\" jawab saya. Maka hari itu, dalam empat hari, saya menjelajah tujuh kota di empat provinsi di Tiongkok. Membanding-bandingkan teknologi. Untuk mengubah tanaman kaliandra menjadi energi. Belajar lagi. Belajar lagi. Tentu saya juga ingin tahu apa yang sedang hot dibicarakan oleh masyarakat luas di Tiongkok. Dulu, 15 tahun yang lalu, masyarakat sudah mengira Xi Jinping bakal jadi presiden suatu saat kelak. Kini, mereka bicara tentang kian kuatnya posisi Presiden Xi Jinping dalam konsolidasi kekuasaan. Lebih kuat dari posisi presiden sebelumnya, Hu Jintao. Kini \"Tiongkok adalah Xi Jinping dan Xi Jinping adalah Tiongkok.\" Dengan demikian keputusan-keputusan politik di Tiongkok menjadi sangat efektif. Tapi tak kalah ramainya adalah pembicaraan ringan yang satu ini: bagaimana bisa anak umur tiga tahun memenangkan acara tv \"tiongkok mencari bakat\" dan bagaimana bisa penyanyi berjilbab menempati urutan kelima \"penyanyi yang paling digemari\" di Tiongkok. Anak kecil itu, hebatnya, bisa joget apa saja. Muai gangnam style sampai gaya robot. Bahkan bisa bicara filsafat hidup. Namanya: Zhang Junhao. Ketik saja nama itu di youtube. Akan muncul berbagai gayanya yang menggemaskan dan mengharukan. Tapi finalis satunya, wanita 4 tahun bernama Xixi juga tidak kalah hebatnya. Ketika juri (salah satunya bintang film terkemuka Jet Li) bingung menentukan pemenangnya, dua finalis cilik itu diminta naik panggung. \"Kalian berdua layak maju ke grand final di Beijing. Tapi hanya satu yang harus dipilih. Bagaimana pendapatmu, Junhao?,\" tanya juri. \"Pilih saja dia,\" kata Junhao sambil memandang saingannya itu dengan sendu. Sendunya anak berumur tiga tahun. \"Kenapa?,\" tanya juri. \"Karena saya laki-laki,\" jawabnya. Tapi siapa pun tahu Junhao jauh lebih layak. Juri kagum akan jiwa besarnya, tapi tetap memilihnya. Anak sopir truk dari salah satu desa di Shandong ini kelihatan sedih. Dia lantas memegang lengan Xixi. \"Berusaha teruslah agar tetap dipilih,\" ujar Junhao merayu Xixi. Akhirnya juri menyatakan Xixi pun dapat jatah ke Beijing. Menurut sang ibu, Junhao sudah bisa berjalan saat berumur 10 bulan. Lalu, setiap ibunya senam joget di lapangan anak kecil itu ikut dan selalu meniru. Kepalanya yang digundul dan bicaranya yang lantang membuat Junhao benar-benar menggemaskan. \"Junhao punya keinginan apa?,\" tanya juri. \"Membagi kebahagiaan,\" katanya. \"Setiap saya joget ibu saya tertawa. Beliau tampak bahagia. Saya ingin membagi kebahagiaan kepada siapa saja,\" katanya. Junhao pun laris manis. Stasiun-stasiun tv mengundangnya untuk tampil. Termasuk tampil bersama penyanyi terpopuler no 5 di seluruh Tiongkok saat ini: Shila (Nama lengkapnya: Shila Amzah. Umur: 24 tahun. Agama: Islam. Pakaian panggung: baju panjang dan hijab (jilbab). Shila sebenarnya penyanyi Malaysia. Tapi teman karibnya, wanita Tionghoa, berhasil merayunya untuk mengembangkan karir di Tiongkok. \"Pasar musik terbesar dunia saat ini adalah Tiongkok,\" kata temannya itu. Shila setuju. Dia banyak menyanyikan lagu-lagu mandarin. Mengena. Suaranya yang tinggi dan fasihnya melafalkan lagu mandarin membuat Shila sangat populer. Dia pun belajar bahasa mandarin. Di negara komunis itu Shila tidak menyembunyikan kemuslimahannya. Justru lebih menjadikannya ciri khas. Waktu menyanyi di Malaysia rambut Shila masih terurai. Kini di Tiongkok dia justru berhijab. Hanya saja pakaian muslimahnya itu tidak membatasi geraknya. Jingkraknya tetap jingkrak rocker saat Shila membawakan lagu rock. Kita pun punya calon Shila di Indonesia: Indah Nevertari. Juara Rising Star Indonesia di RCTI bulan lalu. Bukalah youtube. Lihat keduanya: bandingkan! Lalu saya ke Spanyol. Tanpa sungkan dinilai sering ke luar negeri. Resminya untuk liburan keluarga. Tapi sebenarnya ada agenda tersembunyi yang saya rahasiakan dari istri dan anak-menantu. Semula tujuan liburannya ke Turki dan Libanon. Gagal. Gara-gara keluarga tahu saya berniat \"menyelinap\" ke Damaskus, ibukota Syiria yang lagi bergolak. Jiwa kewartawanan saya memanggil. Kalau jadi ke Libanon, saya ingin menghilang satu hari ke Damaskus. Kalaupun sulit ke sana (karena lagi perang) saya akan ke Gunung Kelima yang jadi judul novelnya Paulo Coulho itu. Yakni gunung pemujaan umat nabi Elia (versi Injil) yang musryik dengan membuat patung sapi (versi Quran surat Al Baqarah). Keluarga akhirnya memilih ke Spanyol. Agenda rahasia saya tidak berisiko: 1). Melihat proyek pertama di dunia: Pembangkit Listrik Tenaga Cermin. 2). Melihat kemajuan sistem perkeretaapian di Spanyol. Ini karena saya dulu sering memberangkatkan anak-anak muda PT KAI yang dikirim Dirutnya, Pak Ignasius Jonan ke Valencia untuk inspirasi pembenahan kereta api Indonesia. Karena itu saya menyelipkan nama Valencia sebagai salah satu kota tujuan liburan. Di samping Madrid, Toledo, Cordoba dan Barcelona. Alasan resminya: agar bisa nonton pertandingan liga Spanyol yang hari itu seru: Valencia lawan Real Madrid. Tapi sebenarnya saya hanya ingin sebanyak mungkin naik kereta api. Ke semua tujuan tadi. Baik antar kota besar yang ternyata keretanya sudah berkecepatan 300 km/jam, atau antar kota kecil yang ternyata keretanya juga sudah berkecepatan 250 km/jam. Spanyol ternyata lebih menyenangkan dari yang saya bayangkan. Juga tempat belajar yang baik. (**)
Menghilang untuk Banyak Belajar
Senin 19-01-2015,10:08 WIB
Editor : Rajman Azhar
Kategori :