\"Rumahnya di mana, Pak?’’
’’Ya enggak saya bawa! Memangnya keong?’’
DIALOG semacam itu mungkin tak akan terjadi pada Liu, 39, warga Liuzhou, Guangxi, Tiongkok. Sebab, ke mana-mana, dia selalu membawa ’’rumahnya’’. Tak pelak, media setempat menjulukinya sebagai si manusia keong atau siput.
Kepada wartawan, Liu menjelaskan bahwa rumah nonpermanen itu dibangunnya selama enam tahun. Bahan rumah tersebut berasal dari barang-barang bekas. Benda-benda yang sudah dibuang orang dipungutnya, lalu digunakan untuk membangun hunian kecil itu.
Rumah Liu berbentuk setengah lingkaran. Mirip tenda-tenda dome para petualang alam. Mirip juga dengan iglo, rumah es milik suku Eskimo di Kutub Utara. Tinggi rumah itu 1,8 meter. Lebarnya 1,5 meter. Persis seukuran tubuh orang dewasa.
Meski mungil, rumah tersebut cukup komplet. Di dalamnya ada dispenser air, peralatan memasak, selimut, payung, aneka mainan, dan dompet. Salah satu gambar di media juga menunjukkan bahwa ada sebuah boneka Barbie tergantung di ’’langit-langit’’ rumah tersebut.
Menurut Liu, rumah itu membantu pengelanaannya. Kalau panas, dia tidak kepanasan. Kalau hujan, ya ada bocor di sana-sini. Tapi, dia tetap berjalan. Hanya sedikit lambat. Kalau mau tidur, tinggal ndeprok (menggeletak).
Meski demikian, rumah bersahaja Liu ternyata memikat penggemar. Seseorang, tulis media setempat, sudah berhasrat ingin membeli hunian berjalan itu. Dia menawarkan 100 yuan atau lebih dari Rp 200 ribu. Tapi, Liu menolak.
Dengan rumah berjalan itu, Liu memang berada di antara dua status. Dia tunawisma yang tidak benar-benar tuna- akan wisma... Seorang gelandangan yang benar-benar menggelandang bersama rumahnya. (E-Chinacities/c7/dos)