JAKARTA - PT Pertamina (Persero) akhirnya menormalkan pasokan premium dan solar. BUMN migas penyalur BBM bersubsidi tersebut mengendurkan pengetatan distribusi untuk menghindari antrean panjang di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Pertamina menempuh kebijakan tersebut setelah mendapatkan arahan dari pemerintah. Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan, pihaknya telah mencermati perkembangan situasi yang terjadi di masyarakat dalam beberapa hari terakhir. Penormalan pasokan dilakukan mulai tadi malam (26/8). \"Terhitung mulai malam ini (tadi malam) penyaluran BBM bersubsidi ke SPBU dilakukan normalisasi untuk memulihkan situasi sehingga tidak ada lagi pemotongan pasokan, baik untuk premium maupun solar. Namun, penyaluran tetap akan dilakukan secara terukur dan terarah sesuai dengan kondisi setiap daerah,\" ungkapnya kemarin. Menurut data Pertamina, rata-rata penyaluran solar di seluruh tanah air mencapai 43.057 kiloliter (kl) per hari. Sedangkan rata-rata penyaluran premium tercatat 80.155 kl setiap hari. Sebelumnya, Pertamina memangkas penyaluran premium ke sejumlah SPBU dari semula 24 ribu liter per hari menjadi hanya sekitar 8 ribu liter per hari. Kebijakan itu dilakukan untuk menghemat penyaluran BBM bersubsidi yang jatahnya dipangkas dalam APBN Perubahan 2014, yakni dari 48 juta kl di APBN 2014 menjadi 46 juta kl. Meskipun melonggarkan kebijakan, Pertamina tetap mengantisipasi potensi jebolnya kuota BBM. \"Ini menimbulkan potensi terlampauinya kuota BBM bersubsidi dalam APBNP 2014. Sebenarnya kuota ini yang menjadi dasar pengendalian penyaluran sebelumnya. Karena itu, pemerintah nanti memutuskan solusi kebijakan yang tidak akan merugikan Pertamina,\" katanya. Mengenai perincian keputusan normalisasi pasokan tersebut, Pertamina menjelaskan itu hari ini. Rencananya, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya bakal menjelaskan teknis normalisasi di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Menteri ESDM Jero Wacik mengatakan bahwa antrean panjang di SPBU selama ini merupakan konsekuensi dari terbatasnya pasokan BBM bersubsidi. Dia juga mengimbau masyarakat mampu agar membeli BBM nonsubsidi. Terutama pemilik mobil pribadi kelas menengah ke atas.
\"Kasihan pengendara sepeda motor lah. Jangan sampai rebutan beli yang subsidi. Kalau habis, ya belilah pertamax,\" tuturnya. Terkait dengan desakan agar pemerintah menaikkan harga BBM, politikus Partai Demokrat itu cukup kesal. Dia mengatakan, pihaknya sudah pernah mengusulkan kenaikan harga BBM.
Tapi, rencana tersebut ditentang oleh beberapa fraksi DPR, termasuk FPDIP yang akan menjadi ruling party dalam pemerintahan mendatang. \"Dua tahun lalu kami mau naikkan tidak disetujui. Sekarang malah didesak,\" jelasnya. Dia juga mengatakan, hingga kini belum ada rencana kenaikan\"harga BBM bersubsidi. Menurut dia, pemerintah masih menunggu hasil pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi).
\"Kami tunggu apa arahannya. Ini untuk kebaikan negeri. Kenaikan itu bergantung kepada beliau. Saya hanya pelaksana fungsi. Apa pun kata beliau, saya menjalankan saja,\" paparnya. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto mengatakan, pembatasan BBM bersubsidi tetap harus dilakukan. Dia mengatakan, pembatasan BBM tidak akan berdampak kepada kenaikan harga atau inflasi.
\"Kalaupun ada (inflasi), tidak signifikan dan sifatnya sementara,\" ujarnya di Kantor Kementerian Keuangan kemarin (26/8). Menurut Andin, inflasi mungkin akan terjadi dalam skala kecil pada komoditas bahan bakar. Hal itu disebabkan masyarakat yang biasa menggunakan premium dengan harga Rp 6.500 per liter bakal mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli pertamax. \"Tapi, kontribusinya pada total inflasi akan kecil,\" katanya. Andin menyatakan, berdasar pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, lonjakan inflasi hanya akan terjadi apabila pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Misalnya, ketika pada Juni 2013 pemerintah menaikkan harga premium dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter, serta solar dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter, inflasi pada Juli dan Agustus melonjak. \"Tapi, itu reaksi sesaat saja, berangsur-angsur inflasi\"kembali normal,\" ucapnya. (bil/owi/c4/sof)