BELUM lama ini Menteri BUMN Dahlan Iskan menitipkan sekitar 200 tentara berpangkat kolonel kepada saya. Rupanya, Menteri Dahlan sangat peduli terhadap orang-orang yang pernah berjasa mengawal negara itu.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) yang ketika itu dijabat Jenderal Moeldoko memberi tahu saya bahwa kolonel-kolonel tersebut adalah para perwira pilihan yang telah diseleksi. Di antaranya adalah mantan komandan area teruji, atase pertahanan, dan sebagian sudah ikut kursus di Lemhanas atau Sesko TNI. Jadi, dari segi kompetensi dan karakter, mereka merupakan orang-orang hebat. Seluruh kolonel itu tentu berharap naik pangkat menjadi jenderal. Bukankah tinggal selangkah lagi?
Namun, sejarah berubah. Angkatan Darat bukan lagi penguasa darat. Kalau dulu pada era Orde Baru mereka bisa dikaryakan di luar dinas militer untuk menjadi bupati, wali kota, atau duduk di Fraksi ABRI di DPR, kini tidak bisa lagi. Pada era demokrasi, semua posisi itu harus dipilih rakyat.
Kini tinggallah para kolonel yang merana. Karirnya tinggal di dunia militer. Jumlah jabatannya terbatas. Apa yang harus dilakukan?
KSAD Moeldoko dan Dahlan Iskan mengambil inisiatif. Kolonel-kolonel tersebut dilatih ulang, dipersiapkan menghadapi medan yang sama sekali baru. Bisa di BUMN, swasta, atau memulai usaha sendiri.
Galau
Hari pertama, ketika mereka mendapat arahan dari markas besarnya, saya melihat sikap kesatria yang luar biasa. Selain disiplin, muka mereka semua cerah dan tidak ada kata lain yang terucap selain siap.
Namun, esoknya, kegamangan mulai terungkap saat tahu bahwa mereka harus ganti kuadran, meninggalkan profesi tentara. Begini sebagian keluhan mereka.
’’Bapak tahu, kami ini 20 tahun tinggal di dalam panser?’’
Koleganya menimpali, ’’Kami ini 25 tahun membela negara! Sekarang di mana negara?’’
Instruktur saya menjawab, ’’Benar! Membela negara itu baik dan berjasa. Tapi, kini saatnya Anda membela diri sendiri. Sanggup?’’
Mereka mulai berpikir.
Yang ingin saya sampaikan sederhana saja. Betapa rumitnya bagi kita yang sudah bertahun-tahun melakukan sesuatu yang rutin dan ternyata harapan tidak sesuai dengan kenyataan untuk keluar. Keluar dari zona nyaman (comfort zone).
Saya tahu, kecepatan beradaptasi masing-masing perwira amat beragam. Bagi yang cepat, mereka segera mendekati para narasumber agar bisa bergabung sesuai dengan keahliannya. Namun, sampai hari terakhir, tidak sedikit yang masih gamang dan menunggu instruksi lebih jauh.
Hal berbeda saya temukan ketika menghadapi ratusan wanita karir. Kali ini saya diminta memberikan tip mengambil pensiun dini –yang saya ganti dengan istilah karir kedua. Mereka sangat antusias. Jauh lebih siap.
Itulah bedanya pilihan karena dipaksa dengan yang sukarela. Kelompok pertama pasti galau karena dipaksa ke luar. Pada kelompok kedua, justru muncul kesadaran kuat untuk keluar dari zona nyaman itu.
Pengalaman dari Babson
Ketika diminta memimpin Podomoro University, saya pun dikirim belajar ke Babson College di Amerika Serikat yang terkenal dengan pendidikan kewirausahaannya. Selama seminggu saya berkeliling kampus dan berdialog dengan profesor, peneliti, eksekutif, alumnus, donatur, serta para mahasiswa. Bagaimana cara Babson College melatih jiwa kewirausahaan?
Di sebuah kelas, seluruh mahasiswa diwajibkan mengikuti kegiatan kesenian. Pilihannya beragam. Ada drama, menari, komedi, melukis, membuat patung, musik, menyanyi, dan sebagainya. Masing-masing kelompok diberi instruktur dan dalam tiga pekan ke depan harus tampil dalam sebuah festival. Hampir pasti, mahasiswa penyuka musik akan memilih musik. Mereka yang suka drama akan memilih seni drama dan seterusnya.
Apa yang dilakukan Babson College? Karena tujuannya adalah melatih keluar dari zona nyaman, mereka yang suka musik justru tidak boleh memilih musik. Begitu seterusnya.
Alhasil, seluruh mahasiswa protes. Mereka harus mencoba sesuatu yang baru dan harus tampil hanya dalam waktu tiga minggu. Bagaimana mungkin? Tapi, bukankah tujuan pendidikan adalah membangun manusia? Di antaranya, manusia yang berani keluar dari zona nyaman.
Menurut hemat saya, kita sangat abai melatih hal tersebut. Karena itu, setiap menghadapi perubahan, kita pun menjadi galak, marah, resistan, menolak, dan ampun, main ancam dan bolak-balik berteriak seperti orang gila. (*)
Rhenald Kasali (@Rhenald_Kasali)