BENGKULU, BE - Gabungan Pengusaha Angkutan Batubara (Gapabara) Bengkulu meminta agar pembatasan penjualan solar dari pukul 18.00–06.00 WIB dikaji ulang. Pasalnya, kebijakan tersebut dianggap tidak rasional dan tidak layak untuk diimplementasikan di Bengkulu.
\"Kami bukannya menolak kebijakan dari pemerintah, dalam hal ini Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), tapi tidak semua kebijakan bisa diterapkan di semua daerah. Seperti di Bengkulu, kebijakan tersebut malah akan berdampak negatif. Karena itu, kami akan melawan kebijakan tersebut,\" ujar Ketua Gapabara, Yurman Hamedi, ditemui BE, kemarin.
Untuk saat ini, kata Yurman Hamedi, Bengkulu sendiri hanya menyerap 0,9 persen solar dari kuota nasional, jumlah yang sangat sedikit dibandikan dengan daerah lain. Hal ini karena perekonomian Bengkulu terhitung baru mau melaju. Dengan pembatasan penjualan tersebut, Yurman memprediksi malah bakal merusak perekonomian yang baru mau berkembang tersebut.
\"Kebijakan ini bisa meruntuhkan perekonomian kita yang baru mau naik. Kalau terus dimarjinalkan, tentu kita akan melawan,\" tegasnya.
Dampak lainnya, dengan pembatasan jam penjualan tersebut, menurut politisi PAN ini, akan merugikan para pengusaha angkutan (termasuk sopir) dalam segi waktu. Pasalnya, jam efektif para sopir untuk bekerja malah akan dihabiskan untuk mengantre solar. \"Bayangkan juga kalau bus tiba-tiba habis bensin pada malam hari, apakah harus menunggu sampai pagi? Jelas penumpangnya akan marah kalau begitu,\" ketusnya.
Dengan kebijakan tersebut berdampak negatif kepada para sopir angkutan batubara serta masyarakat. Sebab dengan interval harga BBM bersubsidi dengan nonsubsidi sangat tinggi, maka akan terjadi penimbunan BBM oleh oknum baik supir maupun warga. \"Karena dengan medio selisih harga 5 ribu, 5 ribu lima ratus ke 13 ribu, lalu dengan kebijakan pembatasan waktu ini artinya ada peluang sopir untuk melakukan penyelewenangan. Dia beli minyak kemudian dijual lagi, dengan harga 8 ribu, kalau sekali dia dapat 80 ribu, maka gajinya 160 ribu. Tentunya sopir enggak akan mau lagi narik, cukup jual BBM saja,\" sebut Yurman.
Tak hanya itu, dia memandang jika kebijakan pusat tersebut dipaksa untuk diterapkan di Bengkulu, angka kecelakaan juga pasti akan meningkat. Sopir yang tentu akan mengejar target pengisian solar, dipastikan akan menaikkan kecepatan karena takut tidak kebagian BBM tersebut. \"Akibatnya, kecelakaan pasti akan meningkat, dan cita-cita negara untuk mensejahterakan rakyatnya gagal,\" imbuhnya.
Karena itu, dia berharap kebijakan tersebut kembali dikaji karena belum matang. Pihaknya juga akan melakukan komunikasi dengan Pemerintah Daerah, Organda, dan lain sebagainya untuk membicarakan kebijakan yang dituangkan dalam Surat Edaran Kepala BPH Migas No 937/07/KaBPH/2014 pada 24 Juli lalu tersebut.
\"Saya pastikan kalau kebijakan ini tetap dilaksanakan, antrean panjang akan terjadi di ssetiap SPBU. Selain memakan waktu, sopir yang tidak dapat solar harus bagaimana? Apakah harus tidak bekerja. Mohon kebijakan ini kembali dikaji,\" tutup Anggota DPRD Bengkulu Utara yang segera dilantik sebagai anggota DPRD Provinsi ini.
Sementara itu, Pertamina Bengkulu tidak bergeming sedikitpun tetap akan melaksanakan edaran BPH Migas untuk melaksanakan pembatasan waktu pembelian BBM jenis solar di SPBU.\"Tanggal 4 agustus kebijakan pembatasan harus dilaksanakan tanpa terkecuali, kita sudah sampaikan itu,\" tegas Sales Executive Retail Pertamina Bengkulu Sigit Wicaksno.
Pengawasan pelaksanaan kebijakan BPH Migas tersebut, akan dilaksanakan bersama antara Pertamina Bengkulu, Pemerintah Daerah serta Kepolisian Daerah (Polda) agar tidak adanya oknum SPBU serta sopir angkutan bersekongkol untuk menyelewengkan BBM. \"Dengan waktu yang singkat kita memang kesulitan berkoordinasi dengan lembaga terkait, tetapi kita tetapkan berusaha koordinasi dengan Pemda, dan Kepolisian untuk pengawasan kebijakan BPH Migas ini,\" tutup Sigit.
Tidak Efektif
Kebijakan Badan Pengelola Hilir Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) melarang peredaran solar bersubsidi per 1 Agustus di Jakarta Pusat diprediksi bakal mendongkrak ongkos angkutan.
Menurut Ketua Organisasi Angkutan Darat Khusus Pelabuhan (Organda Angsuspel), Gemilang Tarigan, pihaknya akan menaikkan ongkos pengangkutan barang lebih dari 70 persen. Kenaikan ongkos tersebut akan dilakukan jika pelarangan tersebut merambah ke luar Jakarta Pusat.
\"Jika pelarangan terjadi di Jakarta Utara, kami akan menaikkan tarif angkutan barang. Biasanya Rp 1,2 juta sejauh 50 km dari pelabuhan, bisa menjadi Rp 2 jutaan,\" ujar Gemilang.
Sebelum ada pelarangan, solar bersubsidi bisa ditebus Rp 5.500 per liter. Sedangkan harga solar non-subsidi jauh lebih mahal, yakni Rp 12.800 per liter.
Menaikkan ongkos angkutan, menurut Gemilang, adalah cara efektif untuk menekan biaya pengeluaran. Alasannya, dalam setiap perjalanan, truk membutuhkan solar sebanyak 50-60 liter. Jika solar subsidi dihapus, otomatis hal itu menambah pengeluaran biaya yang cukup signifikan untuk membeli bahan bakar.
Gemilang memprediksi perusahaan pengangkutan akan membeli solar dari stasiun pengisian bahan bakar asing yang harganya lebih mahal. \"Di SPBU asing harganya bisa 12.000 per liter,\" kata Gemilang.
Kebijakan menghapus solar bersubsidi dirasa Gemilang tidak efektif. Ia lebih setuju dengan langkah pemerintah yang hendak menaikkan harga solar secara bertahap. \"Mending naik Rp 1.000 atau 500, kami masih setuju. Kebijakan penghapusan ini malah membuat masyarakat berbondong-bondong beli premium,\" kata Gemilang. (320/609)