Aneurisma adalah pelebaran dinding pembuluh darah arteri berbentuk menyerupai balon. Selain berlokasi di arteri kepala, aneurisma bisa bercokol di bagian dada dan perut.
Dibandingkan dengan arteri dada dan perut, aneurisma di pembuluh darah yang berada di otak paling fatal. Alasannya, menurut dr Sutis Nasia SpS,dinding pembuluh darah otak pada persimpangan arteri ’’lingkaran Willis’’ melebar. Jika tidak segera ditangani, pembuluh darah di lokasi itu kian membesar serta berisiko pecah. Selanjutnya, terjadi pendarahan otak.
Aneurisma berukuran kecil sering tidak memberikan gejala. Nyeri timbul saat aneurisma tumbuh semakin besar. Semakin berkembang, aneurisma berpeluang bisa menekan saraf otak. Jika hal tersebut terjadi, pasien akan merasa tubuhnya lemah, kesemutan pada lengan atau tungkai, kesulitan berbicara, pandangan kabur, pelupa, dan kejang. Pada ukuran yang besar, pasien umumnya mengeluh sakit kepala berkepanjangan.
Apabila pembuluh darah itu pecah, darah yang keluar membasahi otak. Kondisi tersebut dinamakan pendarahan SAH (subarachnoid hemorrhage), lantas terjadi penekanan otak. Pasien merasakan nyeri kepala yang hebat. Bahkan, ada yang mengibaratkan seperti tersambar petir. Bisa disertai mual, muntah, dan kesadaran menurun. ’’Sekali aneurisma pecah dan mengakibatkan pendarahan, kemungkinan kematian mencapai 40 persen dan kerusakan otak sebesar 30 persen,’’ ungkap spesialis saraf yang berpraktik di Siloam Hospitals Surabaya tersebut.
Penyebab atau faktor luar yang mempercepat pembuluh darah pecah pada penderita aneurisma, antara lain, peningkatan tekanan darah mendadak, kejang, dan sering mengangkat beban berat. Lalu, konsumsi obat pengencer darah seperti warfarin dan aspilet juga bisa mempercepat pembuluh darah pecah. ’’Saat kondisi tersebut, pasien sangat dianjurkan tidak melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah. Misalnya, mengejan, batuk, dan bersin,’’ kata alumnus FK Unair Surabaya tersebut.
Sutis menjelaskan, ada tiga cara yang umum digunakan untuk mendeteksi aneurisma. Di antaranya, screening berupa foto otak atau MRA (magnetic resonance angiography). Pasien cukup berbaring selama 30 menit, kejanggalan bentuk pembuluh darah akan segera terdekteksi. ’’Dengan CT-scan juga bisa, namun diperlukan pemberian cairan kontras,’’ jelas dokter 38 tahun tersebut.
Selain dua cara itu, dokter berkacamata tersebut menambahkan, deteksi aneurisma bisa dilalui dengan pemeriksaan angiografi. Pada metode itu, kateter dimasukkan via pembuluh darah di sekitar paha, lantas menyusuri sampai ujung otak. Pemeriksaan itu diperlukan untuk memberikan hasil pasti mengenai jumlah, bentuk, dan lokasi aneurisma.
Tak ada penyakit tanpa sebab. Faktor risiko aneurisma pun beragam. ’’Orang sebenarnya lahir tanpa aneurisma. Namun, seiring waktu, terjadi penekanan darah pada area persimpangan arteri. Kian waktu semakin melebar, membesar seperti balon dan rapuh. Kejadian ini sering dialami penderita hipertensi,’’ jelasnya. Kejadian tersebut sering dialami orang berusia diatas 40 tahun.
Tidak hanya itu. Aneurisma pada otak juga bisa disebabkan kelainan pada pembuluh darah. Di antaranya, radang pembuluh darah (cerebral arteritis), robek akibat trauma (dissection), genetik (fibromuscular dysplasia), dan penggunaan obat secara berlebih seperti amfetamin dan kokain. Kondisi-kondisi itu tidak jarang dialami kalangan berumur kurang dari 40 tahun.
Bagaimana jika sudah terjadi? Pasien diwajibkan melakukan MRA dan checkup rutin dengan pemberian obat-obatan. Apabila ukuran pelebaran arteri dianggap mengkhawatirkan, harus segera dilakukan operasi oleh spesialis bedah saraf. Salah satu tekniknya menggunakan klip khusus. (bri/c7/nda)