JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, AA Ari Dwipayana mengingatkan bahwa ancaman politik uang di pemilu presiden (pilpres) kian nyata. Ari bahkan melihat pelaku politik uang sudah sangat vulgar.
Pendapat Ari itu sebagai tanggapan atas pemberitaan tentang Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon yang membagi-bagikan uang dalam kampanye di Semarang, Jawa Tengah untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Selasa (2/7) diberitakan membagi-bagikan sejumlah uang. Berdasarkan pemberitaan, Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta itu membagi-bagikan uang kepada sejumlah pedagang di Pasar Bulu.
“Pilpres 2014 berada di bawah bayang-bayang ancaman politik uang. Kekuatiran itu muncul melihat tren penggunaan politik uang dalam momen momen elektoral selama ini. Dan dalam pemilu legislatif lalu praktik politik uang sangat nyata,” katanya melalui email ke wartawan, Kamis (3/7).
Lebih lanjut Ari memaparkan tentang pola politik uang. Yang pertama adalah vote buying. Pola itu berarti kandidat menebar uang untuk ditukarkan dengan suara. Kasus surat berisi uang yang ditujukan kepada para guru adalah bentuk nyata politik uang. “Termasuk bagi-bagi uang di pasar itu juga vote buying,” kata akademisi yang banyak menggeluti persoalan tentang pembiyaan partai politik itu.
Selain itu, politik uang bisa dalam pola pork barrel atau gentong babi. Artinya, kandidat menjanjikan atau mengalokasikan sejumlah dana atau program tertentu pada kelompok pemilih. Ari mengatakan, model politik uang pork barrel biasanya disamarkan dengan program. “Model pork barrel ini biasanya dilakukan oleh kandidat petahana atau yang didukung oleh kekuatan dalam pemerintahan,” lanjutnya.
Ada pula bentuk vote trading yang berarti kandidat membeli suara dari penyelenggara pemilu. Menurut Ari, ancaman vota trading semakin mencuat karena pola itu marak di pemilu legislatif lalu. “Karena dalam praktik vote trading, kontestan hanya cukup mengivestasikan uangnya pada penyelenggara pemilu sehingga mereka bisa dibujuk untuk manipulasi suara dalam rekapitulasi suara,” papar Ari.
Lebih lanjut Ari mengatakan, politik uang di pilpres hanya bisa dilakukan oleh kekuatan politik berdana besar yang disokong oleh pendana besar. Sebab, untuk memenangi pilpres itu maka politik uang bakal menjangkau pemilih dengan ruang lingkup luas berskala Indonesia.
Karenanya, kata Ari, bisa jadi sumber dana politik uang juga dari dana ilegal. “Bisa saja ini sumber utamanya dari korporasi yang punya kaitan dengan elite politik, termasuk para mafia migas, mafia impor dan mafia mafia yang lain,” katanya.
Sementara untuk menyalurkan politik uang di pilpres, Ari menyebut hal itu memerlukan infrastruktur penyaluran dana yang massif. Menurutnya, ada potensi rezim yang tengah berkuasa terlibat di dalamnya.
“Potensi pelibatan rezim yang sedang berkuasa termasuk para kepala daerah yang jadi tim sukses sangat besar. Kebetulan koalisi pengusung Prabowo-Hatta didukung oleh partai yang sedang berkuasa serta kolaisi pendukungnya paling banyak punya kepala daerah,” sambung Ari.
Lantas bagaimana menangkalnya? “Tangkap pelakunya, dokumentasikan dan unggah ke media sosial. Penegakan hukumnya juga harus tegas. KPU harus keras pada unsur pelaksana pemilu yang terindikasi melakukan vote buying,” pungkasnya.(ara/jpnn)