BENGKULU, BE - Kejaksaan Negeri (Kejari) Bengkulu memberikan sinyal akan melakukan pemanggilan pada Gubernur Bengkulu H Junaidi Hamsyah. Pun demikian, Kejari belum bisa mengagendakan waktunya. Pasalnya, untuk pengusutan kasus dugaan penyelewengan dana pada RSUD M Yunus ini, Kejari masih harus koordinasi dengan Polda Bengkulu.
\"Sebelumnya kan Polda Bengkulu yang mengusut kasus ini, jadi kita harus koordinasi sama Polda dulu,\" ujar Kajari Wito SH MHum, kemarin.
Wito menegaskan, Kejari Bengkulu tidak melihat jabatan dalam pemanggilan. Siapapun, lanjutnya, jika terindikasi melakukan tindak pidana korupsi akan langsung diusut. \"Siapapun yang di dalam kasus itu ada bukti hukum, akan kita tindaklanjuti tanpa kecuali, sesuai dari hukum yang berlaku,\" ujarnya.
Koordinasi dengan Polda sendiri, lanjutnya, karena kejaksaan punya semacam kerjasama antara penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan dan KPK. Karena satu kasus tidak boleh diselesaikan dengan dua lembaga yang berbeda. \"Karena itu, untuk kasus ini kita selesaikan dulu pokok perkaranya,\" sampainya.
Hingga saat ini, Kejari masih melakukan penyelidikan terkait SK yang dijadikan barang bukti pada laporan Nediyanto, kuasa hukum tersangka Yusdi, yang melaporkan gubernur ke Kejari, beberapa waktu yang lalu. \"Sampai sejauh mana SK itu bisa terbit, SK itu kan terverifikasi dan sudah ditelaah. Dalam berkas pertama kita fokus pada beberapa yang telah ditetapkan jadi tersangka dulu,\" tambahnya.
Pun begitu, Wito menegaskan, SK tersebut akan tetap dikaji. Kenapa bisa terjadi SK seperti itu. Karena, menurut Wito, SK itu tidak bisa langsung gubernur tanda tangan. Tapi harus melalui proses yang prosedural. \"Kita harus sidik kenapa bisa terbit SK, siapa yang buat, siapa yang menandatangani,\" jelasnya.
Namun Wito tak menampik, SK tersebut merupakan pelanggaran hukum bersifat administrasi. \"Karenanya, berpatokan pada hati nurani, saya berharap siapa yang menerima dana Rp 5 miliar itu, segera dikembalikan untuk kepentingan rakyat Bengkulu,\" demikian Wito.
Untuk diketahui, dalam SK Nomor: Z.17.XXXVIII yang ditandangani pada 21 Februari 2011 tersebut, berisi tujuh keputusan. Intinya, gubernur membentuk tim pembina manajemen RSUD M Yunus Bengkulu, yang bertugas melakukan pembinaan, pengawasan dan evaluasi terhadap manajemen RSUD M Yunus.
Jasa yang diberikan kepada para tim pembina sebesar 0,75 persen dari pendapatan pelayanan dan perawatan kesehatan RSUD M Yunus. Dana tersebut kemudian dibagi untuk pengarah sebesar 16 persen, pembina : 13 persen, Ketua (3 orang) : 27 persen, Sekretaris 6 persen, Wakil Sektretaris 5 persen, dan 13 orang anggota 33 persen.
Belakangan diketahui SK tersebut bertentangan dengan ketentutan UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Keuangan BLUD RSUD. Dimana, berdasarkan permendagri tersebut, tidak dikenal istilah \'Tim Pembina\'. Sedangkan alokasi dana tetap dikeluarkan oleh Gubernur. Hal inilah yang menyebabkan kerugian negara/daerah sebesar Rp 5 miliar lebih. Selain itu, hal inilah yang menjadi landasan logis Nediyanto melaporkan gubernur untuk dijadikan tersangka dalam kasus tersebut.
Hingga saat ini, Polda Bengkulu sudah menetapkan enam tersangka pada kasus dugaan penyimpangan anggaran jasa pelayanan BLUD RSMY yang diperkirakan terjadi pada bulan Januari 2010 sampai dengan Desember 2012 ini. Diantaranya, Yusdi Zahriar Tazar (mantan Direktur RSMY), Zulman Zuhri (mantan Direktur RSMY), Darmawi (mantan Staf Keuangan), Edi Santoni (Mantan Wadir Umum dan Keuangan), Syafri Safii (mantan Kabag Keuangan), dan Hisar Sihotang (mantan Bendahara Pengeluaran). Tiga diantaranya, yakni Hisar Sihotang, Darmawi dan Zulman Zuhri juga telah dijebloskan ke Lapas Malabero, pasca pelimpahan berkas oleh Polda ke Kejari, beberapa waktu yang lalu. (609)