Tekad itu seperti mengada-ada. Seperti menggantang asap. Tapi Dirut Pertamina, Karen Agustiawan, Direktur Hulu Muhamad Husen, Komisaris Utama Sugiharto, Komisaris Luluk Sumiarso, Dirut Pertamina EP Syamsu Alam, dan hampir 200 generasi muda Pertamina sudah membulatkan satu tekad: kerja keras mewujudkannya.
Mereka sudah bertekad untuk membuat Pertamina menjadi perusahaan kelas regional dalam waktu dua tahun! Mereka pun ramai-ramai membubuhkan tanda tangan di panggung dan berkomitmen untuk melaksanakannya. Sebagai pelaksana di lapangan, Direksi Pertamina membentuk apa yang mereka sebut “Brigade 200K” dan “Brigade 100K”. Brigade ini sepenuhnya terdiri dari anak muda Pertamina yang umurnya paling tinggi 29 tahun! Bahkan ada di antaranya yang umurnya baru 25 tahun. Tujuh orang, seperti juga Dirut Pertamina: wanita!
Brigade 200K sepenuhnya akan bertanggung jawab terhadap kenaikan produksi minyak Pertamina sebesar 200.000 (200K) barel per hari. Sedang Brigade 100K bertanggung jawab akan lahirnya energi terbarukan melalui percepatan proyek geothermal sebesar (equivalen) 100.000 barel per hari.
Dengan tambahan produksi itu maka Pertamina sudah bisa dibilang memasuki level perusahaan minyak kelas regional. Memang harus bekerja sangat keras. Keras sekali. Di situlah kuncinya. Tapi mereka juga tahu bahwa capaian yang diraih melalui kerja keras akan tinggi nilainya. Tidak sama dengan sukses yang didapat dengan melimpahnya fasilitas.
Selama ini Pertamina memang ketinggalan jauh. Jauh sekali. Itu juga disadari dengan sesadar-sadarnya oleh insan Pertamina sendiri. Mereka pun bertekad sudah saatnya Pertamina berusaha menjadi kebanggaan rakyatnya. Sebagai perusahaan yang -Malaysia pun dulu belajar ke Pertamina- bisa diandalkan sebagai jagoan Indonesia di dunia internasional.
Tentu banyak sekali dalih yang bisa dikemukakan mengapa Pertamina ketinggalan jauh dari perusahaan minyak negara tetangga. Banyak sekali kambing hitam yang bisa disajikan. Banyak juga salah-menyalahkan yang bisa dilakukan. Tapi saya tidak mau berputar-putar di situ. Hambatan adalah untuk diatasi, bukan untuk dikeluhkan. Halangan adalah untuk diloncati, bukan untuk diratapi. Rintangan adalah untuk diberantas, bukan untuk ditakuti.
Memang ada beberapa pilihan untuk membuat Pertamina bisa meningkatkan produksi minyaknya. Bahkan ada pilihan yang mudah. Tidak perlu berbelepotan. Bisa dikerjakan sambil makan-makan di hotel bintang lima. Yakni dengan membeli perusahaan-perusahaan minyak asing. Atau membeli ladang-ladang yang sudah produksi di luar negeri. Semua itu bisa dilakukan di ruang-ruang ber-AC. Tawaran seperti itu banyak.
Tapi harganya juga mahal-mahal. Belum tentu keuangan Pertamina bisa menjangkaunya. Risikonya pun juga besar. Bahkan waktu sering habis terbuang karena hasilnya yang sulit diharap. Apalagi sering juga harus melewati tender -yang belum tentu Pertamina bisa memenangkannya.
Pikiran mengembangkan sayap ke luar negeri seperti itu boleh terus diupayakan. Tapi upaya di dalam negeri juga tidak boleh kendor. Pertamina baru memegang peran 20% di dalam negeri. Yang 80% masih asing. Malaysia sudah 40% dan bahkan Brasil sudah 90%. Pemerintah sudah tahu kondisi itu dan tentu akan ikut mengupayakan agar Pertamina bisa mendapat porsi yang lebih besar.
Tapi Pertamina tidak boleh hanya menggantungkan diri kepada apa yang akan diberikan oleh pemerintah. Pertamina sendiri harus menunjukkan kerja kerasnya. Setidaknya dengan apa yang sudah ada dan sudah dimiliki. Kian kelihatan kerja keras Pertamina, kian mudah bagi pemerintah untuk memberikan kepercayaan yang lebih besar. Kian terbukti Pertamina mampu mendayagunakan kemampuannya, kian besar kepercayaan pemerintah untuk membesarkannya.
Saya sangat menghargai tekad baru Pertamina untuk menengok kembali kekayaan lamanya itu. Memang harus kerja keras, belepotan dan mandi keringat, tapi itulah inti dari sebuah kebangkitan. Pembentukan Brigade 200K adalah kebangkitan Pertamina. Karena itu hasil kerja Brigade 200K akan ikut menentukan bisa atau tidak Pertamina mendapatkan kepercayaan yang lebih besar. Dengan Brigade 200K Pertamina akan menengok kembali sumur-sumur lamanya. Pertamina memiliki ribuan sumur tua seperti itu.
Mereka akan bisa menjawab, mengapa sumur-sumur itu hasilnya tidak bisa maksimal dan bagaimana cara meningkatkannya. Teknologi yang dipergunakan di sumur-sumur itu adalah teknologi zaman Belanda. Dengan pemikiran dan teknologi baru, mestinya bisa ditingkatkan hasilnya. Ini sudah terbukti di Sungai Lilin, Sumsel. Produksi sumur tua peninggalan Belanda itu berhasil ditingkatkan menjadi lima kali lipatnya! Dalam dua tahun produksinya naik dari 80 barel per hari menjadi 450 barel per hari.
Inilah sumur tua yang diusahakan Belanda di tahun 1936. Kini, dengan teknologi baru masih bisa ditingkatkan begitu besar. Pertamina memiliki banyak sumur seperti itu. Ribuan jumlahnya. Salah satu anak perusahaannya saja, Pertamina EP punya lebih 200 sumur sejenis. Sumur-sumur itu pasti lebih baik dari apa yang ada di Tiongkok Utara. Atau dalam istilah para ahli perminyakan, sumur-sumur lama Pertamina itu seperti gadis desa yang cantik tapi belum dimasukkan salon.
Dengan menggunakan teknologi baru sumur-sumur itu akan bisa mendongkrak produksi minyak Pertamina. Dengan biaya dan risiko yang tidak sebesar kalau melakukan drilling di ladang-ladang baru. Waktunya pun bisa lebih singkat karena tidak memulai dari nol. Jauh sebelum menjadi orang pemerintah, lebih 10 tahun yang lalu, saya sering sekali berkunjung ke Daqing di provinsi Heilongjiang dan Panju di provinsi Liaoning. Inilah dua provinsi yang disebut “Kuwait”-nya Tiongkok. Mereka dengan telaten, kerja keras, dan gemi mendayagunakan ribuan sumur tua .
Kondisi sumur-sumur minyak di sana jauh lebih jelek dari yang umumnya dimiliki Pertamina. Apalagi di musim salju. Mereka harus memanasi sumur-sumur dan pipa-pipa itu. Alangkah sulitnya. Bahkan ada sumur yang minyaknya habis disedot dalam enam jam. Tidak layak lagi hasilnya disalurkan melalui pipa. Hasil sedotan enam jam itu ditampung di mobil tangki yang sengaja didatangkan. Mobil itu pergi setelah enam jam menunggu di situ.
Besoknya, setelah minyaknya mengumpul lagi, baru disedot enam jam lagi. Begitu seterusnya. Alangkah sulitnya. Alangkah repotnya. Tapi mereka menekuninya. Setetes demi setetes. Itulah inti dari pelajaran dasar entrepreuneur. Hemat pangkal kaya. Negara yang begitu kaya saja masih melakukan usaha yang begitu gigih. Apalagi kita yang masih harus berjuang keras untuk maju. Prinsip “bagaimana bisa mengerjakan yang besar-besar dengan baik, kalau yang kecil-kecil tidak tertangani” adalah prinsip manajemen sehari-hari yang harus dipegang. Banyak orang yang setelah mimpi besar melupakan detil-detil yang kecil. Pengusaha-pengusaha besar yang kokoh tidak ada yang pernah melupakan detil-detil kecil di bidang usahanya! Kalau saja Brigade 200K berhasil dengan kerja kerasnya, alangkah bersejarahnya. Meningkatkan produksi 200.000 barel dalam dua tahun luar biasa nilainya. Itu juga berarti akan mengurangi impor minyak mentah 200.000 barel per hari. Alangkah menghematnya devisa negara.
Tentu saya akan memonitor Brigade 200K ini. Sambil mendoakannya dalam setiap malam-malam saya. (**)
Dahlan Iskan Menteri BUMN