JAKARTA, BE - Pemilu serentak dipastikan bakal dilaksanakan pada 2019 mendatang. Mahkamah konstitusi kemarin mengabulkan permohonan uji materi UU Pilpres, yang membuat Pemilu Legislatif dan Presiden wajib dilaksanakan bersamaan. Pertimbangan utama MK adalah menghindari tawar menawar politik jelang Pilpres.
Permohonan Judicial Review UU nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dilayangkan Aliansi Masyarakat Sipil (AMS) pimpinan Effendi Ghazali. Selain dianggap melanggar klonstiotusi, pemilu yang tidak serentak memboroskan APBN.
MK pun memutuskan jika ketentuan UU tersebut pada pasal 3 (5), 12 (1, 2), 14 (2), dan 112 melanggar UUD 1945. Pasal-pasal tersebut diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. \"Amar putusan berlaku untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya,\" ujar Ketua MK Hamdan Zoelva. Alasan utama MK mengabulkan permohonan AMS adalah untuk menghindari tawar menawar politik yang lazim dilakukan jelang Pilpres. Dalam pertimbangan yang dibacakan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi itu, ada fakta jika pada pemilu 2004 dan 2009 terjadi tawar menawar politik jelang pilpres.
\"Negosiasi dan tawar menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang,\" ujarnya kemarin. Akibatnya, Presiden menjadi sangat tergantung pada parpol koalisi yang potensuial mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan.
Menurut MK, penyelenggaraan pilpres harus steril dari negosiasi dan tawar menawar politik yang biasanya hanya sesaat. Dengan menyamakan waktu penyelenggaraan pileg dan pilpres, akan tercipta negosiasi dan koalisi yang bersifat jangka panjang bahkan permanen.
Lagipula, makna yang diinginkan para perumus perubahan UUD 1945 adalah penyatuan Pileg dengan Pilpres. Gambarannya, setiap lima tahun hanya aka nada satu kali pemilu. Di dalam pelaksanaannya terdapat lima kotak, yakni untuk DPR, DPD, Presiden, DPRD Provinsi, dan kotak terakhir untuk DPRD Kabupaten/kota.
Meski begitu, MK berpendapat jika pelaksanaan serentak itu tidak bisa dilakukan pada pemilu tahun ini. Penyebabnya adalah tahapan pemilu yang sudah berjalan. Seluruh aturan pemilu sudah dibuat dan dilaksanakan. Persiapan teknis juga hampir final.
Jika putusan MK harus langsung dilaksanakan, maka tahapan pemilu 2014 yang akan terganggu. Terutama, karena kehilangan dasar hukum.\"Dengan demikian, dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbullkan ketidakpastian hukum,\" tutur Fadlil.
Dalam perkara tersebut, lanjutnya, pembatasan akibat hukum hanya bisa dilakukan dengan menangguhkan pelaksanaan putusan sampai pelaksanaan pileg dan pilpres 2014. Selanjutnya, barulah penyelenggaraan pemilu harus mendasarkan pada putusan MK dan tidak bisa diselenggarakan secara terpisah.
\"Maka, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan dan pemilu anggota lembaga perwakilan secara serentak,\" ucap Doktor Hukum tata Negara Universitas Diponegoro itu. Jika regulasi baru dipaksakan dibuat tahun ini, maka jangka waktu yang tersisa tidak akan cukup untuk membuat aturan yang baik. MK memutuskan, meski tahun ini pileg dan pilpres dilaksanakan serentak, harus tetap dinyatakan sah secara konstitusi.
Usai persidangan, Effendy Ghazali menyatakan rasa syukurnya atas dikabulkannya uji materi yang merealisasikan pemilu serentak. Atas nama Aliansi Masyarakat Sipil (AMS), Effendy menyatakan bahwa putusan itu sebagai kemenangan masyarakat banyak. \"Kami tidak punya kepentingan mencalonkan, ini lebih kepada perbaikan sistem,\" ujarnya.
Menurut Effendy, hanya satu hal yang mengganjal dari keputusan MK. Dalam hal ini, MK menyatakan bahwa rapat permusyawaratan hakim terkait uji materi AMS telah selesai dibahas sejak Mei 2013 lalu. Delapan hakim menyatakan mengabulkan, dan satu menyatakan dissenting. \"Dalam tanda petik, ada \"penundaan\" delapan bulan. Kenapa dilama-lamakan,\" ujar Effendy.
Selain Effendy, nampak aktivis AMS lain juga hadir, diantaranya Fadjroel Rachman, Irman Putra Sidin, Ray Rangkuti, Jeirry Sumampow, Alex Lay dan kuasa hukum Ahmad Wakil Kamal.
Fadjroel menambahkan, keputusan untuk menunda pemilu serentak dari 2014 menjadi 2019 juga patut dipertanyakan. Dalam hal ini, aspek kebenaran konstitusional ternyata mampu dikalahkan aspek teknis prosedural terkait tahapan pemilu yang makin dekat. \"Agak aneh buat saya. Apa yang menjadi hak konstitusional itu kemudian ditunda,\" kata Fadjroel.
Menurut Fadjroel, dirinya mengusulkan agar masalah prosedural itu menjadi ranah pemerintah dan DPR. Baik eksekutif dan legislatif bisa membahas sejauh mana problem prosedural yang dipaparkan MK, bisa diselesaikan. \"Mudah-mudahan bisa selesai di 2014,\" ujarnya.
Ahmad menambahkan, hal yang menjadi perdebatan adalah kebenaran konstitsional yang ditunda. Menurut dia, apa yang diputuskan oleh MK adalah pelanggaran serius terhadap konstitusi. \"Persoalan teknis itu bisa diselesaikan,\" ujarnya.
Dia menjelaskan, jika pemilu serentak bisa dilaksanakan 2014, tahapan pemilu cukup dimundurkan selama dua bulan. KPU dalam hal ini diyakini siap untuk bisa melaksanakan tahapan pemilu. \"Kalau untuk menambah kotak suara, KPU siap. Presiden juga bisa mengeluarkan Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang, red) untuk menyatukan pemilu legislatif dan presiden,\" tandasnya.
Partai Demokrat mengapresiasi keputusan MK untuk memberlakukan Pemilu serentak mulai 2019. Demokrat menilai MK telah mengambil langkah bijak dengan mempertimbangkan segenap aspek baik hukum, sosial, maupun politik dalam mengambil keputusannya.
\"Partai Demokrat siap untuk menjalankan putusan ini dan semua tahapan pemilu sebagaimana yang telah ditetapkan. Partai Demokrat juga siap berkompetisi secara sehat dan sportif dengan partai-partai politik peserta pemilu lainnya,\" tegas Juru Bicara PD Ikhsan Modjo di Jakarta, kemarin (23/1).
Apresiasi yang sama juga disampaikan Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh. \"Nasdem menyambut baik langkah MK ini. Putusan ini saya katakan sebagai putusan yang tepat, arif, dan bijaksana,\" kata Surya Paloh.
Dia berpendangan putusan MK tersebut juga akan menjadi penambah semangat partai-partai politik dalam mengikuti Pemilu 2019 nanti. \"Sebab tidak ada lagi hambatan untuk mencalonkan kadernya sebagai capres,\" tandasnya.
Surya menjelaskan, NasDem sebelumnya telah berulangkali mengingatkan MK agar lebih mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, golongan, dan partai. Dorongan itu mengingat, bahwa saat ini tahapan Pileg 2014telah berjalan dan direncanakan dengan perhitungan yang terukur serta mendalam. \"Sehingga apabila rencana yang telah disusun ini harus diubah secara mendasar, maka dengan sendirinya dapat merugikan para peserta pemilu, para pemilih, dan bangsa, yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kekacauan,\" imbuhnya.
Tidak semua partai memberikan apresiasi atas putusan MK tersebut. PPP misalnya, menilai putusan yang diketok MK justru mengandung kejanggalan. \"Bagaimana sesuatu yang dianggap inkonstitusional, tapi tahun 2019 dinyatakan konstitusional. Ini bagaimana cara berpikirnya?\" kata politikus PPP Ahmad Yani di kompleks parlamen.
Dia menegaskan, MK tidak dalam posisi bisa membuat undang-undang. Sementara putusan itu bersifat final dan mengikat. Nah, yang terjadi saat ini, diibaratkan Yani, seperti membeli barang dengan sistem indent. \"Putusannya diambil sekarang tapi berlakunya akan datang. Apa bedanya sekarang dan nanti,\" ujar anggota Komisi III DPR itu.
Hal lain yang disorotinya adalah bagaimana partai peserta pemilu 2014 yang tidak lolos parliamentary threshold tidak bisa menjadi peserta pemilu 2019. \"Tapi nanti tahun 2019 akan muncul partai baru dan langsung dapat mencalonkan presiden. Bagaimana ini logikanya? Kan tidak adil,\" tandasnya.
Hal senada juga dikatakan politikus Partai Hanura Syarifuddin Sudding. Menurutnya, jika ada putusan MK yang mengabulkan sebuah uji materi, itu berarti undang-undang itu melanggar konstitusi. Putusan itu harus segera diterapkan. \"Tapi kenapa ada rentang waktu berlakunya,\" katanya.
Namun dia menyadari putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Karena itu, untuk menyongsong pemilu serentak 2019, harus ada proses pembatasan partai politik peserta pemilu. \"Harus ada undang-undang baru,\" kata ketua fraksi Hanura di DPR itu. (byu/bay/dyn/fal)