Eko Sutrisno
UNDANG-undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang disahkan 19 Desember 2013 tidak lagi mengenal istilah honorer. Konsekuensinya, pemda sudah tidak boleh lagi menganggarkan gaji untuk mereka.
Di awal-awal tahun anyar ini, sejumlah pemda sudah mulai mengambil langkah penyesuaian. Sebagai contoh, Pemprov Sumut yang melakukan pemecatan secara mendadak terhadap 146 Tenaga Harian Lepas (THL) yang selama ini bekerja di lingkungan Pemprov Sumut dan rumah dinas Gubernur Sumatera Utara.
Diperkirakan, pemda-pemda lain juga akan mengambil langkah serupa. Nah, bagaimana tanggapan pemerintah pusat terkait masalah ini? Berikut wawancara wartawan JPNN.com, Soetomo Samsu, dengan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eko Sutrisno, Jumat (3/1).
Ada pemda yang mulai memberhentikan tenaga honorer yang sudah tidak punya peluang lagi diangkat menjadi CPNS. Tanggapan Anda?
Memang, lanjutnya, sejak terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2005 jo PP 43 Tahun 207 tentang pengangkatan tenaga honorer, seluruh instansi sudah dilarang mengangkat tenaga honorer. Pemda harus lebih fokus untuk memberdayakan pegawai yang sudah ada untuk efisiensi. Manfaatkan tenaga yang ada, boleh geser sana sini.
Langkah pemberhentian dibenarkan?
Ya, karena kalau masih ada honorer, pemda harus sudah mulai berpikir, mempekerjakan orang itu harus bertanggung jawab. Di UU ASN disebutkan, harus ada jaminan kesehatan dan lain-lain sesuai aturan ketenagakerjaan. Kalau sekadar mengangkat orang, dibayar di bawah UMR, ya itu namanya tidak bertanggung jawab.
Mekanisme pemberhentian seperti apa? Apa boleh mendadak?
Pemda tidak boleh langsung begitu saja memberhentikan tenaga honorer. Harus dilakukan secara arif, harus dilihat juga bagaimana isi kontraknya dulu saat mereka diangkat menjadi honorer. Kalau tidak ada kontraknya yang jelas, ya repot. Juga harus sosialisasi terlebih dahulu kepada para tenaga honorer itu agar tidak kaget. Gak boleh gitu. Harus ada sosialisasi sebelumnya. Harus dijelaskan mengapa diberhentikan, jelaskan juga aturan baru yang mendasari pemberhentian itu.
Apakah yang diberhentikan itu harus diberi pesangon?
Masalah ini tergantung dari isi kontrak kerja masing-masing honorer. Pada saat menjadi honorer, bagaimana perjanjian kontraknya. Apakah disebutkan ada pesangon atau tidak. Ini sebagian besar kan gaka jelas, tidak ada kontrak kerjanya. Jadi, kalau mereka sudah tidak bisa diangkat menjadi PNS, ya harus diselesaikan secara arif, ajak bicara dulu, terutama harus ada sosialisasi terlebih dahulu.
Jadi yang salah pemdanya? Mengangkat honorer tanpa perhitungan?
Seperti saya sebetkan tadi, sejak terbit PP 48 Tahun 2005, sudah tidak boleh lagi mengangkat honorer. Konsekuensinya, ya harus diberhentikan kalau memang sudah tidak ada anggaran atau sudah tidak ada pekerjaan. Tapi, sekali lagi, caranya harus baik-baik. Jangan mendadak-mendadak, tak bisa serta-merta.
Kalau ada dasar aturannya, berarti banyak pemda yang akan mengambil langkah seperti Pemprov Sumut?
Ya, ini merupakan bagian dari penataan pegawai.Karena faktanya, di instansi pemerintahan itu yang bekerja ada PNS ada juga non PNS. Nah, ini yang harus ditata.
Jika faktanya instansi membutuhkan tenaga non PNS, dari mana diambil?
Di BKN sendiri juga ada tenaga non PNS, seperti satpam dan supir. Namun BKN mengambil mereka dari perusahaan outsorching. Karena kalau dari outsorching, selain kesejahteraan mereka terjamin, juga mereka merupakan tenaga terlatih. Kita tinggal memantau bagaimana kinerja mereka.***