Ini sangat ironis. Di negara yang luas lautnya 2/3 dan daratnya hanya 1/3, perusahaan negara yang bergerak di bidang kelautan malah tidak bisa berkembang. Membuatnya hidup kembali juga tidak mudah. Kepercayaan dari stakeholder sudah hilang. Bahkan, kepercayaan kepada diri sendiri pun sudah lenyap. Utangnya menumpuk. Sampai lebih Rp 50 miliar. Termasuk utang pajak Rp 12 miliar. Ibarat orang mau merangkak, dia harus bisa keluar dulu dari lubang yang dalam.
Tidak masuk akal perusahaan perikanan mati di kolam ikan. \"Tidak ada modal.\" Begitu selalu kilah yang terucapkan. \"Minta PMN.\" Itu ujung-ujungnya. Minta penambahan modal negara. Saya tidak mau dua-duanya. Modal hanya bisa diberikan kepada yang biasa kerja, kerja, kerja. Modal tidak boleh diberikan kepada yang tidak mau bekerja. Yang biasanya juga tidak mau berpikir. Yang biasanya juga mudah mengeluh. Yang biasanya juga mudah menyerah. Yang biasanya juga mudah menyalahkan orang lain. Karena itu, saya tidak mau menjanjikan modal. Saya minta mereka bekerja dulu. Kerja. Kerja. Kerja. Apa yang bisa dikerjakan\" \"Apa saja,\" jawab saya. Maka dicarilah apa yang bisa dikerjakan. Muncullah gagasan ini. Datangnya dari Direktur Keuangan (waktu itu) Abdussalam Konstituanto. Cari upah dari memperbaiki kapal orang lain. Menjual jasa. Tanpa modal. Kecuali tenaga. Toh, PT Prinus punya galangan kapal. Bahkan di lima lokasi: Pekalongan, Surabaya, Bitung, Ambon, dan Sorong. Kelimanya berada di pusat-pusat kekayaan perikanan Indonesia. Dulunya, zaman dulu, galangan kapal itu dimaksudkan untuk dipakai sendiri. Ketika PT Prinus masih jaya. Masih memiliki banyak kapal. Kalau ada kapal yang rusak, tinggal diperbaiki di galangan sendiri. Belakangan lima perusahaan perikanan di lima kota itu bermasalah. Semuanya. Mismanagement. Secara berjamaah. Sakit. Sempoyongan. Semaput. Sekarat. Tahun 2004 muncul ide menyehatkannya: digabung menjadi satu perusahaan dengan nama PT Perikanan Nusantara (Persero). Menyatukan lima perusahaan sekarat ternyata ibarat orang lumpuh menggendong orang pingsan. Tidak jalan.
Sampai tiga tahun kemudian tidak bergerak. Penyatuan itu ibarat hanya mengumpulkan lima orang sekarat dalam satu kamar pengap. Tidak ada obat dan tidak ada dokter. Baru pada 2007 statusnya diperjelas: diberi direksi dan diberi injeksi. Bayangkan apa yang bisa diperbuat gabungan lima perusahaan lumpuh itu. Lima perusahaan yang secara spiritual sudah rusak bertahun-tahun. Tentu, saat diangkat sebagai menteri, saya tidak bisa membiarkannya. Mayat itu harus diurus. Dikubur. Atau dihidupkan. Saya mencoba memilih yang kedua. Rasanya tidak akan sesulit pabrik kertas Leces. Dunia kian tidak memerlukan kertas. Dunia kian memerlukan ikan. Untuk langkah pertama, saya minta utang-utang PT Prinus diselesaikan. Beres. Lalu muncul ide dari Abdussalam untuk mendayagunakan galangan kapal itu. Kerjakan. Kerja. Jalan. Bernapas. Tahun berikutnya Abdussalam saya naikkan jadi direktur utama. Berkibar. Lima galangan kapal di lima kota itu kian sibuk. Uang mengalir masuk. Tidak ada lagi yang bocor. Dulu galangannya sibuk, tapi uangnya entah ke mana. Jumat lalu saya ke Ambon. Meninjau PT Prinus Cabang Ambon. Tanda-tanda kehidupan tampak dengan nyata di situ. Galangan kapalnya sibuk. \"Sampai Desember nanti sudah penuh. Kami sudah menolak-nolak order,\" ujar Ferdinand Wenno, kepala PT Prinus Cabang Ambon. \"Banyak sekali kapal ikan yang antre perbaikan,\" tambahnya. \"Bahkan, kapal ikan Taiwan pun diperbaiki di sini,\" ungkap dia. Terlihat ada kebanggaan di sorot matanya. Demikian juga di Surabaya, Bitung, dan Sorong. Semua sibuk bekerja. Bangga.
Hope itu cepat menjalar. Merambat. Menular. Mewabah. Setelah galangan kapalnya bergairah, Abdussalam mengayunkan langkah baru. Menghidupkan pabrik es di lima kota. Kapal ikan perlu es. Dalam jumlah besar. Nelayan mulai mendatangi PT Prinus. Untuk mendapatkan es. Abdussalam pandai memanfaatkan hope dan optimisme. Dia jadikan itu mesiu untuk melesatkan cita-cita. Galangan dan pabrik es bukanlah cita-cita yang sebenarnya. PT Prinus bukan perusahaan es. Dia perusahaan perikanan. Galangan dan es hanyalah sasaran antara. Jembatan. Awal 2013 Abdussalam menyeberangi jembatan itu. Masuk ke jantung perusahaan: membangun pusat pengolahan ikan. Di lima kota. Di Ambon saya kaget. Ada tiga orang Korea dan satu orang Amerika. Pagi itu mereka lagi menyeleksi hasil pengolahan ikan Prinus. Agar layak diekspor. Tidak ditolak di negara tujuan. Tidak diklaim. Itu langkah yang cerdas sekaligus prudent. Perusahaan yang baru hidup seperti Prinus masih menghadapi banyak kerawanan. Belum memiliki keahlian. Kalau ekspor ikannya sampai ditolak, Prinus akan kembali mampus. Saya sungguh bangga dengan Prinus. Mayat itu kini sudah hidup. Bahkan sudah mampu berjalan. Cukup jauh. Hanya perlu waktu dua tahun. Tanpa suntikan modal sama sekali. Sorenya saya ke Sorong, Papua Barat. Di sini tanda-tanda kehidupan itu lebih nyata. Galangannya, pabrik esnya, dan pengolahan ikannya sangat istimewa. Tentu semua itu baru awal kebangkitan. Abdussalam masih menyimpan dendam yang sangat dalam: menjadikan Prinus benar-benar perusahaan perikanan kelas dunia. Dia lahir di Bangkalan, Madura. Dia alumnus Akuntansi Unair. Dia doktor ekonomi IPB. Dia mencintai laut dan isinya. Sore itu dia sudah menyiapkan sashimi fresh untuk saya. Tapi, heli yang akan membawa saya ke Kais tidak bisa menunggu. Di Kais, pedalaman Sorong Selatan itu, Perum Perhutani sudah siap membangun pabrik sagu pertama. Saat menuju Kais, saya minta heli terbang rendah di 80 km selatan Kota Sorong. Di sinilah konsorsium PT Pelindo akan membangun pelabuhan laut internasional sebesar yang di Makassar. Dua proyek itu lebih menggiurkan untuk dilihat. Saya tinggalkan sashimi. Saya telan kembali liur yang sudah telanjur mengucur. (*)
Dahlan Iskan Menteri BUMN