BI Juga Perketat KPR Tipe Kecil

Kamis 26-09-2013,10:25 WIB
Reporter : Rajman Azhar
Editor : Rajman Azhar

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) semakin memperketat penyaluran kredit perumahan. Tak mau nasabah sektor properti dilanda gagal bayar, dalam aturan barunya, bank sentral juga memberlakukan kebijakan uang muka minimal untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya pada tipe 22-70 meter persegi.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah mengatakan beleid anyar ini sebetulnya dikecualikan untuk fasilitas kredit pertama tipe rumah 22-70 meter persegi. \"Namun untuk mencegah risiko perbankan, aturan kami berlakukan untuk pembelian rumah tpie 22-70 meter persegi yang menggunakan fasilitas pembiayaan kedua dan seterusnya,\" ungkapnya kemarin (25/9). Regulasi baru ini berbentuk Surat Edaran (SE) nomor 15 tahun 2013 dan mencabut SE sebelumnya yang berlaku pada Juni 2012 lalu.

Difi memerinci, bank konvensional akan menerapkan sistem LTV (loan to value) sebesar 70 persen untuk rumah kedua tipe 22-70 meter persegi. Artinya, uang muka yang harus dibayarkan calon debitur adalah 30 persen dari harga rumah yang diakui bank. Begitu pula LTV untuk rumah ketiga dan seterusnya sebesar 60 persen. Sedangkan bank syariah bakal menerapkan besaran FTV (finance to value) yang berbeda. Yakni 80 persen untuk rumah kedua, dan 70 persen untuk rumah ketiga dan seterusnya. Aturan lebih ketat juga diberlakukan untuk KPR tipe besar atau 70 meter persegi ke atas.

Bank juga tak lagi bebas mengucurkan KPR untuk pembelian rumah dengan cara inden. Pencairan kredit tanpa terbangunnya rumah secara utuh, hanya diperbolehkan untuk KPR pertama.  Sedangkan untuk kredit kedua dan seterusnya, bank hanya mengucurkan dananya jika properti telah selesai atau siap terima. Aturan itu berlaku jika KPR pertama belum lunas. \"Kalau kredit pertama sudah lunas, kredit rumah kedua itu dihitung kredit pertama lagi,\" tegasnya.

BI juga berupaya memperketat kredit konsumsi yang beragun properti. Selama ini, Difi memaparkan, ada tren bahwa debitur mengajukan kredit konsumsi dengan menggunakan properti sebagai agunan. Padahal, kredit konsumsi tersebut ujungnya juga untuk membeli properti lagi. \"Pertumbuhan pembiayaan konsumsi beragun properti yang cukup tinggi itu berpotensi meningkatkan risiko bagi perbankan, terutama terkait siklus boom and bust dari harga properti,\" jelasnya.

Untuk melancarkan kebijakan ini, BI mengharmonisasikan data perbankan satu dengan yang lainnya. Hal itu dilakukan supaya pihak bank dapat mengetahui apakah calon debiturnya telah mendapatkan fasilitas kredit pemilikan properti dari bank lain. \"Caranya melalui surat pernyataan debitur dan sistem informasi debitur (SID),\" jelasnya.

Seperti diketahui, berdasarkan SID per April 2013, terdapat 35.298 debitur yang memiliki lebih dari satu kredit pemilikan rumah (KPR) dengan nilai baki debet sebesar Rp 31,8 triliun. BI pun merasa perlu menyempurnakan ketentuan LTV maksimal bagi KPR maupun KPR rumah susun (KPRS). Ini karena pertumbuhan KPR/KPRS untuk tipe lebih dari 70 meter persegi masih tinggi, yakni masing-masing mencapai 25,5 persen, dan melonjak jadi 63,3 persen pada Juli 2013. Kenaikan ini dinilai jauh di atas pertumbuhan kredit secara agregat. Meski regulasi ini mulai efektif 30 September 2013, akan tetapi seluruh perjanjian kredit yang ditandatangani oleh bank dan debitur harus mengacu pada surat edaran baru ini. (gal/sof)

Tags :
Kategori :

Terkait