Oleh: Zaenal A Budiyono*
KAZAKHSTAN sebagai pecahan Uni Soviet merupakan salah satu negara berkembang yang berhasil melakukan konsolidasi politik dan ekonomi secara mapan. Sejak merdeka dari Soviet pada 16 Desember 1991, Republik Kazakhstan secara bertahap menunjukkan kekuatan ekonominya baik di regional maupun internasional.
Negeri ini menyimpan cadangan sumber daya alam (SDA) terbesar di antara negara-negara persemakmuran eks Soviet yang tergabung dalam Commonwealth of Independent States (CIS). SDA Kazakhstan yang cukup melimpah antara lain uranium, tembaga dan seng. Selain itu, lahan pertanian yang luas mampu menghasilkan gandum dan ternak dalam jumlah besar.
Keberhasilan pembangunan ekonomi Kazakhstan sudah diakui dunia dengan pemberian Investment Grade Credit Rating. Predikat itu menempatkan negeri yang pernah menjadi bagian Kekaisaran Rusia itu sebagai negara Asia Tengah pertama yang menyandang predikat prestisius itu.
Stabilnya ekonomi Kazakhstan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonominya yang fantastis (di atas 9 persen) sejak 2000 hingga 2007. Industri tambang menjadi mesin utama penopang pertumbuhan tersebut.
Namun, krisis ekonomi dunia tahun 2008 memaksa pemerintah Astana -ibu kota Kazkahstan- melakukan terobosan industrialisasi guna mengurangi ketergantungan terhadap migas. Resep ini terbukti mujarab, karena angka pertumbuhan ekonomi pada 2010 kembali ke level 9 persen setelah dua tahun berturut-turut terkoreksi.
Buahnya pada 2012 lalu, Kazakhstan menikmati Purchasing Power Parity (PPP) sebesar US $ 232,2 miliar, atau nomor 53 di dunia. Sementara untuk PDB, Kazakhstan mengalami pertumbuhan riil sekitar 5,5 persen dan berada di peringkat ke-49 dunia. Dengan semua gebrakan di atas, negara dengan penduduk 17 juta jiwa itu mampu menekan tingkat kemiskinan sekitar 5,3% di tahun 2011.
Satu pertanyaan yang muncul setelah menyimak data ekonomi dan stabilitas politik Kazakhstan adalah siapa tokoh di baliknya. Jawabnya simpel: Nursultan Abishevich Nazarbayev. Dialah sosok sentral Kazakhstan -menjadi Presiden sejak Kazakhstan merdeka 1991- dalam dua dekade detakhir.
Sebagai entitas yang memiliki sejarah nomaden, bangsa Kazakh membutuhkan hadirnya pemimpin bertipe kharismatik. Nazarbayev memiliki itu, bahkan mungkin tanpa pesaing di era Kazakstan modern sekarang ini. Ia juga bukan tipikal Satrio Piningit yang tiba-tiba turun dari langit.
Sebaliknya, Nazarbayev kental pengalaman dan meniti karier dari bawah. Ia bukan penentang rejim komunis Uni Soviet, melainkan salah satu pejabat strategis di Partai Komunis Uni Soviet (PKUS). Tercatat, pria yang di masa mudanya menjadi buruh pabrik ini pernah duduk sebagai Sekretaris Komiter Sentral Partai Komunis Kazakhstan (1979-1984) dan Perdana Menteri Republik Soviet Sosialis (RSS) Kazakhstan.
Tak ada kampanye kebencian terhadap Soviet yang ia “jual” untuk memperoleh dukungan rakyat. Nazarbayev menawarkan justru transisi secara gradual di Republik Kazakhstan dengan fokus utama pembangunan ekonomi.
Berkuasa Penuh
Saking kuatnya pengaruh Nazarbayev, tak ada kelompok politik yang bisa menggusurnya sejak menggenggam jabatan di tahun 1991. Praktis, hingga kini Nazarbayev sudah 22 tahun menggenggam kekuasaan di Kazakhstan. Bahkan bila ditambah dengan jabatannya di negara bagian Kazakhstan selama era Soviet, pria kalem ini sudah berkuasa hampir 30 tahun. Waktu berkuasa yang cukup lama, mendekati kekuasaan Presiden Suharto di era Orde Baru.
Nazarbayev bukannya tak menghadapi riak politik. Setelah menyapu bersih pemilu 1991 dan 1995, Nazarbayev berkuasa lagi melalui referendum. Pada 2005, ia kembali menang tanpa lawan berarti. Pada pemilu 2007, partai pendukung Nazarbayev, Partai Nur-Otan (Fatherland) kembali menang mutlak dengan 88 persen suara di parlemen, ekuivalen 98 kursi atau mayoritas mutlak.
Namun, tekanan kelompok oposisi mulai mengencang pada 2011. Oposan mempertanyakan tidak adanya referendum guna memperpanjang jabatan Nazarbayev hingga 2020 tanpa melalui pemilu.
Setelah melalui diskursus panjang dengan melibatkan sejumlah kelompok di Kazakhstan, Mahkamah Konstitusi (MK) Kazakhstan memutuskan menggelar Pemilu pada April 2011. Hasilnya, Nazarbayev memenangi 95,5 persen suara, walaupun saat itu ada 4 calon presiden yang bertarung.
Dengan adanya pemilu 2011 itu, komunitas internasional melihat Nazarbayev melakukan konsolidasi politik dan kekuasaan dengan cara demokratis. Berbeda dengan banyak rezim tua di sejumlah kawasan yang menegakkan kekuasaan dengan diktatorial dan kekerasan.
Namun, sekuat itukah demokrasi Kazakhstan? Ini yang menjadi bahan kajian menantang para ilmuwan politik dunia. Dengan media televisi yang dikuasai penuh pemerintah, predikat negara demokratis bagi Kazakhstan tampaknya masih perlu pembuktian. Indikasinya dapat dilihat dari keengganan partai-partai oposisi untuk berpartisipasi dalam pemilu 2011.
Kelompok oposisi terdiri dari Partai Azat, Partai Ak-Zhol dan Partai Rukhaniyat. Ketiganya terdaftar resmi sebagai parpol di Kazakhstan, namun memilih tidak ikut berkompetisi. Sementara masih ada Partai Komunis dan partai Alga yang tidak terdaftar di KPU setempat.
Enggannya oposisi ikut berkompetisi kemungkinkan dipengaruhi dua hal. Pertama, terlalu kuatnya partai penyokong Nazarbayev, sehingga mereka sulit meraup dukungan, bahkan untuk sekadar dukungan minimal sekalipun.
Kedua, kecurigaan adanya politik birokrasi yang mempengaruhi hasil pemilu. Walaupun ini baru analisa, tetapi di banyak negara yang menjalankan transisi demokrasi -termasuk Indonesia- hal tersebut kerap terjadi.
Satu hal lagi yang bisa menjelaskan “stabilitas politik” Kazakhstan adalah adanya adagium populer di ilmu politik bahwa kondisi ekonomi mempengaruhi politik. Bila suatu negara kondisi ekonominya terjaga dengan kesejahteraan yang relatif merata, maka urusan politik menjadi kurang menarik bagi warganya.
Indonesia di bawah rezim Suharto pada periode 1980 hingga awal 1990-an menunjukkan bagaimana ekonomi mempengaruhi politik secara nyata. Saat ekonomi berada pada kondisi “aman”, maka gerakan koreksi terhadap rezim atas nama apapun sulit membuahkan hasil. Itu juga yang terjadi di Malaysia kini, di mana stabilitas ekonomi “memberangus” gerakan-gerakan reformasi.
Teori ini juga berlaku di China dan jazirah Arab yang tengah dilanda gejolak perubahan dalam bungkus Arab Spring. Kita tunggu, apakah ekonomi Kazakhstan mampu bertahan di tengah makin menipisnya SDA dunia dan ketidakpastian ekonomi global yang berujung krisis di banyak kawasan. Itu cukup untuk menjelaskan masa depan Nazarbayev dengan semua predikatnya.
Hubungan Indonesia-Kazakhstan
Lantas, apa pentingnya Indonesia bagi Kazakhstan? Dan apa pula makna Kazakhstan bagi Indonesia?
Bukan Nazarbayev namanya kalau tidak bisa melihat arah angin perubahan. Setelah sukses memperpanjang masa kekuasaan melalui referendum tahun 1995 dan mengatasi krisis ekonomi 2008 serta menjaga pertumbuhan kembali ke titik 9 persen, kini tantangan besar Kazakhstan adalah menjaga potensi penurunan ekonomi akibat melemahnya ekonomi Amerika dan Eropa. Pada titik inilah Nazarbayev melihat Asia sebagai masa depan ekonomi dunia.
Maka, setahun terakhir ia melakukan “kampanye” ekonomi ke Indonesia. Tujuannga, tentu saja untuk mendorong agar semakin banyak pengusaha Indonesia yang masuk ke Astana, Almaty maupuk kota-kota lainnya di Kazakhstan.
Gayung pun bersambut, karena Indonesia juga tengah berupaya meningkatkan kelas perusahaan-perusahannya agar tidak hanya menjadi pemain lokal. Maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan sinyal bahwa Indonesia akan berinvestasi di bidang pangan, ban dan minyak. Secara teknis, PT Indofood, PT Pertamina dan satu perusahaan ban nasional akan menjadi duta Indonesia di Kazakhstan untuk melebarkan sayap bisnis.
Presiden Nazarbayev dalam pembicaraan dengan Presiden SBY menyebut investasi Indonesia di Kazakstan yang nilainya hampir Rp 10 triliun sebagai hal positif. Masyarakat Kazakhstan sudah mengetahui reputasi Indonesia dalam produk mie instan, salah satunya dengan brand Indomie.
Sementara Pertamina juga berupaya secepatnya “naik kelas” mengimbangi pemain kawasan lainnya, terutama setelah BUMN migas itu masuk dalam Fortune 500, alias masuk dalam 500 perusahaan top dunia. Pertamina berada di peringkat 122, sebuah peringkat yang cukup prestisius karena mengalahkan perusahaan Singapura, Wilmar International (224) dan Flextronics International (492).
Maka menjadi “masuk akal” melihat Presiden Nursultan Nazarbayev memberikan sambutan luar biasa kepada Presiden SBY. Di sepanjang jalan-jalan protokol kota Astana yang bersih, bendera Merah Putih terpampang mencolok berdampingan dengan bendera Khazakhstan. Bahkan, beberapa gedung terbungkus LED system yang secara kontinyu menampilkan video tentang Indonesia dan tentu saja berama sang Dwi Warna.
Nazarbayev adalah fenomena. Ia berkuasa panjang di era demokrasi dengan mempertahankan kekuasaan tanpa kekerasan. Demokrasi yang gaduh di Indonesia seperti terlihat berbeda dengan makna demokrasi bagi rakyat Kazakhstan. Nazarbayev seperti mengingatkan kita dengan Demokrasi Terpimpin di era Presiden Soekarno.
Namun, ia mampu membumbuinya dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga rakyat merasa politik hanya bagian kecil dari kehidupan. Simpelnya, politik bagi rakyat Kazakhstan bukanlah satu-satunya hal yang harus diperebutkan dengan cara apapun. Wallahualam.(***)
*Zainal A Budiyono, Asisten Staf Khusus Presiden dan anggota Delegasi Kunjungan Presiden RI ke Republik Kazakhstan