Oleh: Mayor Laut (KH) Chumaidi*
UNGKAPAN bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman) mengikat semua anak bangsa. Sebagai prajurit yang beberapa kali diterjunkan ke medan perang, saya harus punya keyakinan bahwa membela bangsa ini merupakan jihad yang benar.
Saya ditugaskan negara untuk kedamaian dan ketenteraman di bawah NKRI. Meski dihadapkan pada musuh yang juga menganut Islam, seperti ketika ditugaskan selama masa darurat militer 2004-2005 di beberapa kota di Nanggroe Aceh Darussalam, saya harus yakin bahwa misi negara ini yang paling benar. Misi kami bukan menguasai wilayah lawan, melainkan mengembalikan dan menormalisasi daerah konflik ke pangkuan NKRI.
Dalam konteks menjalankan perintah agama, saya juga yakin kadar keimanan siapa pun yang terlibat dalam pertempuran akan memuncak. Bisa jadi, ibadah seperti salat maupun amalan lain kepada Allah lebih tekun. Kemungkinan kecil ada personel yang berani main-main. Terlena sedikit saja, nyawa menjadi taruhannya. Di situlah nilai spiritualitas seorang prajurit dalam beragama.
Menjadi perwira rohani dalam sebuah satuan tugas yang pasukannya terdiri atas hampir 1.000 anggota merupakan tantangan. Membangun keimanan pasukan saya laksanakan setelah salat berjamaah. Bagaimanapun, hidup jauh dari keluarga, meninggalkan istri untuk waktu yang relatif lama, berpotensi menimbulkan tindakan menyimpang.
Di samping itu, di daerah konflik seperti darurat militer, ada juga perempuan yang statusnya tidak jelas. Bisa jadi itu akibat lama berpisah dari suami yang perang berpindah-pindah tempat, masuk-keluar hutan, dan tidak jelas apakah masih hidup atau sebaliknya.
Keadaan seperti itu bisa menjadi godaan buat prajurit yang keimanannya lemah. Malah, acap kali kita mendengar tahu-tahu ditemukan tentara yang meninggal secara tidak wajar. Bukan dalam peperangan, namun akibat tindakan indisipliner yang berbuntut kematian.
Dalam kondisi seperti itu, tidak ada kata lain selain selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain ibadah wajib salat, saya selalu menyarankan diiringi doa.
Dalam kondisi darurat tersebut, saya meyakini doa bisa lebih mujarab untuk dikabulkan jika umat-Nya yakin. Mengapa berdoa? Saya berpikir ringan dan dapat diterima logika anggota. Doa pasti lebih ringan daripada membaca Alquran. Mungkin ada yang merasa ribet dalam kondisi darurat membawa Alquran. Mungkin juga ada yang belum bisa membaca Alquran.
Dalam kesempatan majelis Yasinan yang dilaksanakan setiap malam Jumat pun, belum tentu banyak yang hadir. Lantas, doa apa yang kira-kira pas? Dalam keadaan seperti itu, saya lebih arahkan untuk menghafal bacaan salawat sebagai doa. Khususnya, salawat munjiyat lebih dari bacaan salawat biasa. Saya meyakini itu sebagai sarana memohon kepada Allah untuk memenuhi hajat dan menjauhkan dari bala bencana dan marabahaya.
Mengapa salawat munjiyat? Selain petuah orang tua yang mengamalkan di kampung saya, salawat munjiyat biasa dipakai sebagai media berikhtiar dalam pengobatan. Doa orang pintar bisanya panjang-panjang. Toh, bacaan terakhir ketika meniup air untuk diminum orang sakit biasanya ya salawat itu.
Saya juga yakin berkat doa itu, saya turut selamat ketika tsunami meluluhlantakkan markas satgas saat bertugas di Bireuen pada 26 Desember 2004. Tidak hanya selamat secara fisik. Senjata laras pendek dan laras panjang yang dibekalkan kepada saya serta tas keperluan logistik juga selamat.
Pada hari yang sama itu, ada anggota yang hilang dan banyak senjata milik perwira yang hilang disapu gelombang.
Berkah salawat munjiyat juga, didapatkan istri anggota yang sudah 10 tahun lebih belum diberi keturunan. Selama itu, mereka sudah berobat ke mana-mana. Menurut penjelasan dokter spesialis kandungan, kemungkinan memiliki anak secara alami sangat tipis. Solusinya, mereka harus memprogram bayi tabung.
Keterbatasan ekonomi membuat mereka tidak bisa melaksanakan rekomendasi itu. Begitu tergabung bersama si suami tersebut dalam satgas ke Aceh, saya hanya ingat bahwa salawat menjadi satu doa yang luar biasa. Kebetulan anggota itu sering berkeluh kesah belum punya keturunan.
Saya hanya bisa memberi saran supaya mereka yakin dan tidak boleh ragu bahwa doa akan dikabulkan bila niat ikhlas karena Allah. Begitu tiga bulan setelah selesai dari misi operasi, saya dikabari bahwa si istri personel itu terlambat dua minggu. Saya tetap minta doa tersebut terus diamalkan sampai nanti si bayi lahir.
Alhamdulillah, berkat ketekunan mereka mengamalkan doa dalam situasi darurat, si jabang bayi akhirnya lahir dengan selamat.
Memanfaatkan keistimewaan Ramadan yang nilai ibadahnya berlipat ganda jika dibandingkan dengan pahala bulan-bulan lainnya tentu jangan dilewatkan begitu saja. Sebab, belum tentu Ramadan tahun depan kita masih diberi kesempatan. (sep/c6/ib)
*Kepala Seksi Keuangan Subdinas Pembinaan Mental Koarmatim