URABAYA - Rupiah terus melemah di saat pemerintah telah menaikkan BBM subsidi. Komite Ekonomi Nasional (KEN) pun menganggap bukan faktor domestik yang berperan dalam pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) dalam beberapa bulan belakangan.
Ketua KEN Chairul Tanjung menyebut pelemahan rupiah banyak dipengaruhi penguatan mata uang USD akibat peningkatan suku bunga di Negeri Paman Sam. \"Penguatan USD itu yang berpengaruh kepada menurunnya mata uang lain di dunia termasuk rupiah,\" katanya saat di Surabaya, kemarin.
Dia menambahkan, pelemahan rupiah masih dalam taraf wajar sebab, banyak negara lain di kawasan Asia yang anjlok dibanding rupiah. Bos CT Corp itu juga menyebut kondisi ini bukan banyak dipengaruhi stabilitas ekonomi dalam negeri.
\"Tentu ada faktor domestik yang mendorong pelemahan rupiah yaitu, harga-harga komoditas yang turun karena, demand dunia. Akibatnya, nilai ekspor berkurang, meskipun, volume kita tambahkan, tetapi jika harga turun berdampak defisit neraca pembayaran,\" paparnya.
Defisit neraca pembayaran ini mendorong pemerintah untuk sedikit melonggarkan penjagaan terhadap rupiah. Seandainya, pemerintah menjaga nilai rupiah terlalu rendah, maka cadangan devisa akan terus tergerus. \"Karenanya kita mencari keseimbangan baru, katanya
Pada awal pekan ini, rupiah belum menunjukkan kekokahannya. Kemarin, rupiah turun menjadi Rp 10.270 per USD dari sebelumnya Rp 10.265. Sebelumnya, KEN optimistis rupiah bisa bertahan berkisar Rp 9.500 sampai Rp 9.600 pada tahun ini setelah, pemerintah menaikkan BBM bersubsidi. Alasannya, pemerintah dapat menghemat USD yang sebelumnya digunakan untuk impor minyak mentah.
Pada kesempatan yang sama, pria yang akrap disapa CT itu mengkritisi tentang kenaikan harga bahan pokok selama momen Ramadan dan Lebaran. Padahal, agenda itu adalah siklus tetap yang bisa diantisipasi oleh pemeritah.
Antisipasinya adalah meningkatkan volume impor komoditas bahan pokok menjelang momen Ramadan-Lebaran. \"Seharusnya, keran impor dibuka minimal 3 bulan sebelum Ramadan tiba,\" ujarnya.
Menurut dia, konsumsi masyarakat saat Ramadan naik antara 1,5 sampai 2 kali lipat dibanding hari normal. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan demand dan suplai, dimana suplai tetap, namun di sisi lain demandnya naik, akibatnya harga terkerek naik. \"Antisipasinya adalah penambahan kuota impor ketika, suplai komoditas dari domestik tidak mencukupi ,\" paparnya
Misalnya daging sapi yang saat ini harganya masih tinggi. Menurut dia seharusnya 3 bulan sebelum tamadan sudah diantisipasi dengan menambah impor. Begitu juga komoditas lain yang suplai domestiknya minim. \"Antisipasi ini menjadi penting untuk menjaga kestabilan harga,\" tegasnya.(dio)