Besarnya pungutan itu, sebanyak delapan persen dari penghasilan bulanan tanpa tunjangan pangan sebagaimana Pasal 6 PP No 25/1981. Iuran tersebut berasal dari peserta di lingkungan instansi pusat dan instansi daerah ke kas negara. “Dalam hal terjadi keterlambatan penyetoran iuran oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 6A Ayat (3) PP No 2013 itu.
Menurut PP ini, akumulasi Iuran Pensiun dan Tabungan Hari Tua yang dipungut dan disetor peserta, dalam hal ini PNS, merupakan dana milik peserta secara kolektif yang dikuasai oleh pemerintah. Akumulasi iuran sebagaimana dimaksud dapat digunakan oleh pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan Pensiun PNS, dengan mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Rencana penetapan iuran tadi menuai respons dari parlemen. Anggota Komisi II (bidang pemerintahan) DPR Imam Malik Haramain mengatakan, selama tidak ada persoalan dari internal PNS di seluruh Indonesia penetapan iuran tadi bisa dijalankan. “Tentu pemerintah sudah koordinasi dengan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia),” tandasnya kemarin.
Malik Haramain menuturkan, penetapan pungutan delapan persen itu nantinya juga akan dinikmati masing-masing abdi negara sendiri. Politisi PKB itu mengatakan, tujuan penetapan iuran ini adalah peningkatan kesejahteraan PNS ketika sudah pensiun nanti. “Asalkan pengelolaannya harus transparan, menguntungkan, dan aman,” tandasnya.
Di internal pemerintah sendiri, belum ada keterangan terkait persiapan pelaksanaan iuran baru untuk seluruh PNS tersebut. Dari pihak Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) masih belum bisa dikonfirmasi. (jpnn)