BENGKULUEKSPRESS.COM - Dahulu kala, ada dua bersaudara, anak yatim piatu. Yang tertua adalah seorang kakak perempuan yang dipanggil "Wo" oleh adiknya. Adik laki-lakinya bernama Pungguk. Panggilan "Wo" adalah sebutan seorang adik kepada kakak perempuannya.
Suatu hari, setelah kedua orang tua mereka meninggal, mereka merasa sangat kesepian. Akhirnya, mereka pergi menyusuri hulu sungai tanpa tujuan yang pasti.
Berhari-hari mereka berjalan hingga akhirnya mereka kelaparan. Untunglah, di pinggir sungai itu ada buah kenalung—buah yang berbentuk seperti mangga dan nampak masih tersisa. Tanpa basa-basi, sang kakak memetik buah kenalung tersebut. Ia lalu memberikan buah yang paling besar kepada si Pungguk.
Dikarenakan sudah sangat lapar, Pungguk mengupas buah kenalung itu menggunakan giginya sehingga banyak daging buahnya terbuang. Sementara itu, kakaknya mencari sembilu bambu untuk mengupas buahnya. Melihat buah kenalungnya masih berbentuk besar, sang adik protes, "Wo, aku endak nyo buah Wo itu!" seru sang adik.
Buah milik Pungguk bentuknya tinggal kecil akibat dikupas menggunakan gigi. Kakaknya pun tidak mau memberikannya karena waktu pertama kali didapat, buah adiknya lah yang besar. Tetapi, adiknya memaksa dan berhasil merebut buah kenalung milik kakaknya.
Melihat keadaan itu, sang kakak pun merajuk, "Ya sudah, Dek. Kalau Adik tidak mau berbagi makanan, Kakak mau pergi." Si kakak pun beranjak meninggalkan adiknya, si Pungguk.
Baru lima langkah kakaknya pergi, adiknya menangis sambil berteriak ingin ikut. Naluri sang kakak pun iba dan tersentuh melihat adiknya menangis. Ia menghentikan langkahnya sambil berkata, "Ya sudah, kalau kamu mau ikut, kamu jangan bersikap seperti tadi. Dan nanti, kamu jangan sekali-kali hinggap di batang kayu yang bergetah." Si Pungguk pun menganggukkan kepala. Lalu, mereka pun melanjutkan perjalanan.
Dikarenakan hari sudah hampir larut malam, mereka beristirahat tidur di bawah sebuah pohon kayu besar.
Mereka pun terlelap. Malam itu begitu cerah, sinar rembulan begitu terang. Kakaknya terbangun, melihat keindahan malam itu. Tanpa sadar, ia secara tidak sengaja terbang menuju arah rembulan yang bersinar terang. Ia lupa kalau ia bersama adiknya.
Entah mengapa, si Pungguk pun terbangun. Dia terkejut melihat kakaknya sudah tidak ada. Dia pun buru-buru keluar. Ternyata benar, terlihat kakaknya pergi terbang menuju bulan yang sedang purnama.
Si Pungguk pun secara membabi buta ikut terbang menyusul kakaknya. Dikarenakan tenaganya belum sekuat kakaknya, si Pungguk ingin mengumpulkan tenaga sejenak. Ia hinggap di pohon terap. Dengan napas tersengal-sengal, ia masih mengatur napasnya agar kuat untuk terbang lagi menyusul kakaknya.
Terlihat dari pandangannya, sang kakak telah sampai ke rembulan. Melihat kakaknya telah tiba, si Pungguk berancang-ancang ingin menyusul. Tapi saat ia akan terbang, kakinya lengket akibat getah batang terap yang ia hinggapi tadi. Dengan susah payah kakinya pun tak mau lepas.
Dari kejauhan, ia berteriak memanggil kakaknya dengan sebutan, "Wo... Wo... Wo...." Panggilan itu terus terdengar disaat purnama masih bersinar. Rembulan mulai gelap. Saat dia kecapekan, dia sadar akan pesan kakaknya, "Kalau mau ikut, jangan hinggap di batang kayu bergetah."
Dia pun menyesal tidak memperdulikan pesan kakaknya. Akhirnya dia cuma bisa pasrah. Kini, dia cuma bisa melihat kakak (Wo) hanya saat purnama. Dan saat bulan purnama itulah momennya dia bisa melihat kakaknya yang dia panggil Wo.
Catatan: Sampai sekarang, di Seluma, khususnya yang berada dekat dengan hutan, bila bulan purnama, suara panggilan "Wo... Wo... Wo..." masih terdengar. Itulah suara sang adik, bentuk kerinduan memanggil kakaknya yang berada di bulan.