Apapun itu yang penting aku mau jualan, mau membantu dapur ibu supaya mengebul. Bapak sudah lama di rumah karena sakit. Selama ini hanya Ibu yang bekerja jadi aku pun terbiasa mencari pundi-pundi rupiah.
"Hari ini kamu jualan, Nak? Lebih baik di rumah sajalah. Sekarang sedang tak aman."
"Justru itu, Bu. Kesempatan untuk jualan, rame, InsyaAllah laris."
“Ibu khawatir. takut ricuh. Nanti kamu kenapa-napa pula."
"Aku hati-hati kok, Bu. Ibu do'ain ya, biar pulang dengan selamat dan daganganku laris."
Setelah aku pamitan dengan ibu, aku menghampiri Bapak. Bapak menatapku dalam. Aku cium tangannya saat berpamitan. Entah kenapa ada rasa enggan untuk hilang dari pandangan matanya itu. Bapak memperlihatkan aku sebuah foto yang dia letakan di dekat kasurnya.
Bapak yang menggunakan almamater kebanggaannya bediri gagah membawa bendera. Dia berdiri di depan gedung DPR RI, saat demontrasi 1998.
"Bapak kasih kamu nama Perwira karena Bapak berharap apapun peranmu nanti, kamu dengan gagah berani membela Pertiwi ini, Nak," kata Bapak.
Keningku berkerut, tidak biasanya Bapak bicara seperti itu. Mungkin karena situasi Negeri saat ini yang sedang tidak baik-baik saja.
"Hati-hati...," ucap Bapak lirih. Aku mengangguk pergi. Namun ku sempatkan menoleh kembali ke Bapak, Pahlawan di kehidupanku itu masih memandangiku lekat.
Saat aku tiba di lokasi sudah ramai massa yang berdatangan, bukan hanya dari kalangan mahasiswa saja tapi juga ada ibu-ibu yang ikut bersuara.
Dengan semangat 45, mereka mengobarkan tuntutan perjuangan. Aku menyimak apa yang kakak-kakak mahasiswa itu sampaikan. Di sisi lain barisan polisi bagai tameng di depan gedung putih itu.
Saat orasi disampaikan aku mulai berkeliling mengitari para pendemo, berharap jualananku ada yang membeli. Kemudian berdiri tak jauh dari mahasiswa yang mengarahkan handphonenya ke seorang ibu-ibu berjilbab abu. Sedikit penasaran aku menyimak apa yang dilakukannya.
"Kata-kata hari ini, Bu?" tanya kakak itu.
"Naikan harga diri! Bukan Pajak!" Teriak ibu itu lantang. Matanya membelalak isyaratkan kemarahan dan kekecewaan. Teriakannya disambut dengan tepuk tangan para mahasiswa, aku pun ikut bertepuk tangan untuk ibu itu.
Keadaan yang semula aman dan tenang tiba-tiba ricuh, botol plastik dan batu melayang di udara, kemudian ada yang berteriak lantang, "Majuuu... Ayok maju...." Entah siapa yang memulai, keadaan pun memanas. Barisan polisi memperkuat pegangan tamengnya sementara mahasiswa maju-mundur .