Menyeimbangkan Antara Pemajuan Ekonomi dan Transisi Energi

Senin 16-12-2024,10:21 WIB
Editor : Rajman Azhar

Namun dalam pelaksanaannya, Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh menggunakan cara sendiri, bukan menggunakan basis standar (baseline) dari negara-negara maju.

Selama teknologi dari pengembangan EBT masih mahal, dan ekonomi Indonesia belum kuat, pemerintah akan terus menyesuaikan diri dengan kondisi domestik, serta mengutamakan potensi yang ada untuk kesejahteraan masyarakat.

Hal itu karena dalam proses transisi energi membutuhkan biaya yang cukup besar, dengan akumulasi pengembangan elektrifikasi untuk energi surya, geothermal, bayu atau angin, biofuel, serta hidro mencapai 1 triliun dolar AS atau sekitar Rp15.439 triliun.

Siasat yang dilakukan oleh Indonesia antara lain yakni dengan menerapkan proses transisi energi dari fosil ke arah yang lebih hijau secara bertahap.

Pemerintah telah menetapkan strategi transisi energi bertahap melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dalam rencana tersebut, ditargetkan bahwa hingga tahun 2030, bauran energi nasional untuk elektrifikasi akan terdiri dari 48 persen energi fosil dan 52 persen energi baru terbarukan.

Dalam RUPTL itu pemerintah menetapkan bahwa pertumbuhan listrik rata-rata 4,9 persen per tahun, melakukan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 40,6 gigawatt, menambah jaringan transmisi sepanjang 47.723 kilometer sirkuit, serta melakukan penambahan transformator gardu induk sekitar 76.662 meter volt ampere (MVA).

Selanjutnya penambahan jaringan distribusi sepanjang 456.547 kilometer sirkuit, dan penambahan transformator gardu induk sekitar 31.095 MVA.

Untuk meningkatkan bauran elektrifikasi energi baru terbarukan (EBT), RUPTL menekankan pentingnya inovasi melalui pencampuran batu bara dengan biomassa atau sampah kota (co-firing).

Percobaan ini diterapkan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan tipe Circulated Fluidized Bed (CFB), Pulverized Coal (PC), dan Stocker, sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan kontribusi EBT dalam bauran energi nasional.

Lalu, memanfaatkan hasil potensi teknologi batu bara cair (liquified coal) dan batu bara tergaskan (gasified coal) untuk pemanfaatan batu bara kalori rendah yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia, serta secara teoritis sangat sulit digunakan sebagai bahan bakar PLTU.

Program tersebut telah dimulai dengan proyek percontohan yang sedang dilakukan oleh PLN Puslitbang bekerja sama dengan salah satu pengembang di Karawang.

Ke depan penggunaan mineral fosil seperti nikel, bauksit, timah, dan batu bara yang dimiliki Indonesia difokuskan untuk memberikan nilai tambah perekonomian (Economic Value Added/EVA) melalui hilirisasi.

Batu bara misalnya, mineral ini dalam strategi yang ditetapkan pemerintah bakal difokuskan hilirisasi untuk menghasilkan produk metanol dan dimethyl ether (DME) yang diperuntukkan memenuhi kebutuhan gas minyak cair (Liquefied Petroleum Gas/LPG) untuk masyarakat.

Selanjutnya nikel, mineral tersebut tengah dikembangkan untuk menghasilkan produk sel baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang bisa memberikan kontribusi besar terhadap ekspor Indonesia, sekaligus mengurangi emisi karbon di sektor transportasi.

Melalui cara ini Indonesia secara berangsur akan mengurangi energi fosil sebagai kontributor utama pasokan energi nasional, tanpa harus mengorbankan kontribusi sektor mineral dan batu bara terhadap pemajuan ekonomi.

Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan strategi transisi energi yang terencana, Indonesia berada di titik krusial untuk menentukan masa depannya.

Kategori :