Mantan wakil Menteri Pendidikan Nasional (sekarang Kemendikbud) Fasli Jalal mengatakan, setiap kali penerapan kurikulum baru tidak bisa langsung merubah tatanan teknis pendidikan. \"Apalagi model guru dalam mengajar,\" tandasnya kemarin.
Dosen Universitas Andalas (Unand) Padang itu mengatakan, aspek krusial dalam setiap perubahan kurikulum baru adalah pengajaran oleh guru.
Pria yang pernah terlibat dalam perubahan kurikulum 1998, kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) itu mengatakan, di awal-awal penerapan kurikulum baru nanti para guru kemungkinan besar akan tetap mengajar dalam model yang lama.
Yakni benar-benar menjadi penceramah dan menuntut seluruh siswa mendengarkan materi yang dia tuturkan. Padahal dalam kurikulum baru, seorang guru lebih berperan sebagai pembimbing untuk para siswa dalam setiap mata pelajaran. Murid lebih didorong untuk bereksperimen dan mengamati lingkungan sekitarnya.
Menurut Fasli dalam agenda perubahan kurikulum dibutuhkan masa transisi paling cepat dua tahun. \"Dalam sejumlah kasus bisa lebih lama lagi,\" tandasnya. Dia mencontohkan ketika masa transisi antara kurikulum 1998 dengan KBK dulu.
Dia mengatakan jika tuntutan KBK sudah muncul sejak 2003, tepatnya setelah lahirnya undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas). Fasli mengatakan dalam UU Sisdiknas itu secara tegas pembelajaran harus berbasis kompetensi yang akan dimiliki siswa, untuk itu disusun KBK.
\"Bayangkan sendiri, KBK dirintis sejak 2003 dan baru dijalankan pada 2004 dan benar-benar efektif pada 2006 (KTSP),\" kata mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud itu. Fasli menambahkan jika selama masa transisi itu pelatihan guru benar-benar digenjot.
Dia memperkirakan pada kurikulum yang baru ini, para guru baru benar-benar siap pada 2015 nanti. Masa transisi selama dua tahun ini bisa digunakan untuk menatar guru secara nasional.
Penataran atau pelatihan guru tidak berhenti di tingkat nasional, para guru juga dituntut untuk berlatih secara mandiri di jenjang lebih bawah lagi.
Caranya yakni para guru berlatih dengan teman sesama guru di satu sekolahan (peer group). Menurut Fasli model pelatihan antara teman sejawat ini lebih efektif ketimbang pelatihan nasional.
Setelah menjalani pelatihan peer group, guru yang bersangkutan mengevaluasi dirinya sendiri. \"Materi apa yang belum dikuasi, lalu bagaimana cara untuk mengatasinya itu harus dipecahkan juga. Ini butuh waktu tentunya,\" kata dia.
Fasli juga mengkritisi pemerintah terkait penyiapan buku pelajaran secara nasional. Dia mengatakan buku pelajaran tidak bisa disusun dengan materi seragam untuk seluruh Indonesia.
\"Karena memang Indonesia beragam sekali. Jangan sampai yang dipelajari siswa itu yang di awang-awang,\" tandasnya. Misalnya tidak semua siswa dapat melihat pantai di lingkungannya.
Lebih ekstrim lagi ada materi pembelajaran mengenai kendaraan bermotor, tetapi ada sejumlah daerah yang mayoritas masyarakatnya belum mengenal kendaraan. Fasli berharap pemerintah pusat cukup membuat rambu-rambunya saja, selanjutnya konten buku dibuat masing-masing daerah. (jp)