Manuruti Kehendak Orang Tua Setelah cinta pertamanya kandas, pamuda enerjik ini seakan tidak lagi tertarik kapada lawan janisnya. Bukan karana kacawa dan trauma, tapi karana parhatian dan konsentrasinya terhadap studi mengalahkan segala-galanya, atau bisa saja sebaliknya, justru kegagalan cinta pertama ini ikut memicu bertambahnya semangat Ichwandalam belajar. Yang jelas sampai ia merampungkan studi di Bandung, dan dipekerjakan, lalu diangkat menjadi pegawai secara resmi. Kemudian sakolah lagi di Akademi jabatan Akuntan selama kurun waktu lebih kurang dua tahun itu, sagala parhatiannya dicurahkan kepada studi dan pekerjaannya. Teman-temannya sendiri pernah menyarankan Ichwan untuk menikahi seorang gadis kaya dari Bandung yang mempunyai perhatian khusus kepadanya. Ichwan juga pernah nyaris jatuh cinta pada anak gadis Ibu Indekosnya di Bandung karena gerak-gerik, gaya dan perilaku gadis itu selalu mengundang perhatiannya. Tapi selalu saja Ichwan berusaha menghindarinya. Sampai akhirnya Ichwan ditugaskan di Medan Sumatera Utara. Sebagai seorang profesional muda yang familier dan mudah bergaul, tentu saja banyak wanita yang mendambakannya. Berbagai cara dilakukan oleh wanita-wanita pendamba tersebut untuk mencuri hati Ichwan. Tetapi berbagai macam cara pula ia untuk menghindarinya, dengan tetap mempertahankan hubungan persahabatan mereka. Lama kelamaan benteng pertahanan itu akhirnyaruntuh juga, Ichwan segera sadar bahwa sebagai laki-laki normal yang sudah memasuki usia dewasa, tentu saja mendambakan pendamping hidup. Pendamping tempat mencurahkan isi hati, saling mengisi dan menutupi, saling asah dan asuh, tempat berbagi suka dan duka. Pendamping yang nantinya bisa memberikan keturunan untuk mengisi generasi sesudahnya. Kesadaran dan keinginan itu tumbuh subur, berkembang dan semakin besar seiring bertambahnya usia dan berlalunya waktu. Sampai suatu waktu Ichwan tidak berdaya dengan aura cinta yang dipancarkan dari seorang gadis berdarah Melayu, teman seprofesinya. Cinta, demikian panggilan akrab sang pencuri hati ini. Tidak lama saling mengenal dan saling memahami satu sama lain, akhirnya Ichwan merasa banyak kecocokan dengannya dan berniat untuk meningkatkan hubungan keduanya ke jenjang perkawinan. Sebelum melangkah lebih jauh, Ichwan lantas mengirim surat ke kampung halamannya untuk memberitahukan niatnya itu kepada ibu, saudara dan kerabat terdekat, sekaligus memohon saran dan pendapatnya. Ichwan tidak terlalu berkecil hati mendapatkan jawaban negatif dari kampung halamannya. Ibu dan saudara-saudaranya berpendapat bahwa sebaiknya Ichwan tidak jauh-jauh, memilih calon pendamping, dan memberi saran supaya Ichwan mencari calon isteri orang Mukomuko saja. Ichwan sempat merenung seraya mempertimbangkan saran dan pendapat orang-orang yang sangat dicintai dan mencintainya itu, tapi segera saja ia menemukan jawabannya yaitu mengutungkan niatnya untuk melamar dan menuruti kehendak otang tua dan saudara-saudaranya. Ada beberapa pertimbangan yang mendorong Ichwan mantap pada keputusannya. Pertama, perasaan bersalah karena belum sempat berbakti kepada orang tuanya. Dalam pikiran Ichwan ketika itu, walaupun mungkin ia belum bisa mengabulkan saran atau permintaan ibu dan saudara-saudaranya, tapi minimal tidak menentangnya. Inilah menurut Ichwan bentuk pengorbanan dan sekaligus pengabdian terkecil yang bisa ia persembahkan kepada orang tuanya. Pertimbangan kedua, adalah karena ia merasa tidak ada artinya sebuah rumah tangga tanpa restu dari orang tua dan saudara-saudaranya. Sebagai konsekuensi logis terjadi perkawinan adalah menyatukan dua keluarga yang tadinya berbeda satu sama lain. Dengan perkawinan, orang tua isteri otomatis menjadi orangtuanya juga, saudara isteri otomatis menjadi saudaranya juga, nenek isteri otomatis menjadi neneknya juga, begitulah seterusnya. Bukan sebaliknya dengan perkawinan justru menciptakan permusuhan dan perpecahan.(bersambung)