Bugis. Tak asing di telinga kita akan kata itu. Kata ‘Bugis’ selalu melekat pada salah satu suku asal Sulawesi Selatan. Tentu keberadaanya menambah khasanah keberagaman di tanah Raflesia. Keberadaan mereka sedikit-banyaknya telah memberikan kontribusi bagi pembangunan Provinsi Bengkulu. Salah satu kontribusinya, yakni dibidang komoditas pertanian, terkhusus tanaman Palawija dan Perkebunan. Ironisnya, hingga kini masyarakat belum merasakan Listrik Negara, dan Jalan selayaknya.
Anda tertarik untuk mengetahui lebih dalam tentang Kampung Bugis?
Berikut Laporannya,
Musyaffa – Kota Bengkulu,
Siang itu, Pukul 13:30 Wib, terik matahari yang cukup panas menemani perjalananku menuju Kampung Bugis. Niat hati ingin sekedar mengetahui kondisi tanaman sawit milik warga setempat. Karena pada saat ini, rata-rata disetiap daerah, petani sawit sedang mengalami paceklik buah. Tentu, persepsi demikian juga pasti menimpa petani sawit di Kampung Bugis.
Tujuan utama dalam perjalanan saya adalah bertemu dengan ketua kelompok tani di daerah ini. Tepatnya di kediaman bapak Edi Bandu (45) selaku Ketua Kelompok Tani Tunas Muda. Berlokasi di Rt.24 Rw.04 Kelurahan Sukarami Kecamatan Selebar, Kota Bengkulu. Saya pun tak merasa asing berada di rumah ini. Kebetulan sebelumnya saya pernah menyempatkan diri berkunjung ke daerah ini.
Saya pun mengucapkan salam seraya menebar senyuman kepada sang perintis Kampung Bugis, sebagai simbol persaudaraan. Tak lama sang tuan rumah pun menjawab salam seraya mempersilahkan saya duduk. Dengan senyuman, terasa penuh kehangatan menyambut kedatangan saya, seperti halnya pancaran sinar Matahari yang cukup Panas pada siang itu. Pembicaraan dengan bapak Edi Bandu pun dimulai,
Ceritakan tentang Kampung Bugis?
Orang-orang sekitar daerah ini, mayoritas suku Lembak tidak mau membuka daerah ini. Pada waktu itu, daerah ini masih hutan rawa belantara. Mereka enggan membuka daerah ini, karena mereka selalu tersesat jika berada di wilayah ini. Mereka menganggap bahwa hutan tersebut angker (banyak hantu dan binatang buas – red). Tak ada yang sanggup membuka hutan pada waktu itu. Akhirnya diserahkan kepada kami. “Biarkanlah orang-orang Bugis aja yang buka hutan ini,” ungkap Edi Bandu menirukan ucapan orang-orang Lembak.
Nah, pada awal tahun 1990, saya dan sembilan orang lainnya tertantang membuka lahan ini. Kesemuanya adalah orang Bugis.
Apa yang memotivasi membuka lahan disini?
Kami semua tertantang atas tawaran orang-orang Lembak. Status hutan saat itu bebas dan telah dapat izin dari pemerintah Daerah. Apalagi kami punya pengetahuan membuka lahan yang mayoritas rawa menjadi daratan.
Apa kendala yang dihadapi?
Banyak sekali. Kami selalu digangu makhluk gaib, binatang buas, seperti ular, harimau, orang utan, dan binatan buas lainnya. Karena kami punya niat tulus untuk membuka lahan ini. Dan selalu berdo’a kehadirat Allah Swt, maka kesemuanya itu dapat kami lalui.
Bagaimana merubah rawa menjadi daratan?
Ya, kami punya Ilmu tentang hal itu. Caranya, kami buat parit besar atau drainase sepanjang 2 kilometer. Lalu, kami buat parit-parit kecil disalurkan ke drainase tadi. Akhirnya, kita dapat lihat bersama, area ini sudah menjadi daratan.
Apakah Istri Anda turut Serta?
Tidak, kami semuanya laki-laki. Pada waktu pembukaan awal, istri dan anak tidak kami ikut-sertakan. Pada waktu itu, istri tinggal di Cengri. Ketika kami sudah punya Camp, istri sering kami ajak masuk ke daerah ini. “Ya udah nginap ajalah,” ungkap Edi menirukan ucapan istrinya. Lalu kami pun membuat rumah panggung.
Ketika dianggap 80 persen hutan ini sudah rubuh, mulai berpencar (pembagian lahan – red). Luas lahan per-orang bervariasi, tergantung kemampuan modal masing-masing. Ada yang punya modal dapat mencapai 2 ha2, ada yang hanya ½ ha2, ada yang satu hektar. Mereka menebang sendiri, sesuai dengan jatah masing-masing. “Kamu mampunya berapa, ya udah kita ukurkan, dan kamu garap,” ujar Edi berbicara kepada warga lainnya pada waktu itu.
Kapan daerah ini diakui pemerintah?
Sejak 1992, wilayah ini sudah menjadi satuan pemerintahan setingkat Rukun Tetangga (RT). Pada waktu itu Rt. 12, Kelurahan Sukarami. Hal tersebut, seiring perkembangan daerah ini, menyusul datangnya orang-orang dari Jawa dan Medan.
Ada berapa Kepala Keluarga (KK) di daerah ini?
Ada 50 KK, dengan jumlah 200 Jiwa yang mendiami wilayah ini. Rata-rata Bugis, Jawa dan Batak.
Apa kuncinya, sehingga warga dapat mendiami tempat?
Ada ikatan, kami ber-Nazar, jika kami tinggal di daerah ini, kami berjanji akan mengadakan do’a bersama kepada Sang Maha Kuasa, agar daerah ini tidak terkena bencana. Dengan memotong 2 ekor atau 1 ekor. Pelaksanaannya setiap selesai Panen Padi, berkisar bulan 5 atau bulan 6. Di bawah tahun 2000-an pernah kami tidak melaksanakan, kami dilanda wabah belalang, dan banyak yang kesurupan. Lalu kami adakan kembali, dan tidak terjadi lagi wabah tersebut.
Bagaimana Tanggapan Warga Sekitar Setelah Orang-Orang Bugis Mampu Menguasai Lahan ini?
Mereka ingin membeli tanah di daerah ini. Itu merupakan wujud apresiasi mereka. Karena pada dasarnya mereka tak menyangka tanah rawa bisa menjadi daratan seperti saat ini. Dulu saat kami tawari untuk bersama membuka lahan, 1 ha2 hanya Rp.5 ratus ribu. Sekarang 1 ha2 mencapai Rp.100 juta, itu pun sudah tak ada lagi yang mau jual.
Tanaman Apa yang Anda Garap bersama Warga?
Tanaman Palawija, seperti Jagung, Cabe dan Padi. Di saat itulah kami sudah di bina Kelompok Tani. Dibawah tahun 2010-an, beberapa kali kedatangan Walikota bahkan Gubernur untuk turut serta memanen hasil pertanian kami. Saat ini semua warga beralih ke tanaman perkebunan, Sawit. Saat ini dengan adanya Sawit, sangat membantu perekonomian warga. Saat ini rata-rata Sawit warga sudah berumur 5 hingga 6 Tahun.
Saat ini, Keluhan Apa yang Dihadapi Warga?
Lewat Media seperti ini, perlu diketahui oleh semua masyarakat terutama Pemerintah. Kami punya keluhan besar. Sampai hari ini kami tidak pernah merasakan Listrik PLN. Kami hanya objek politik bagi mereka (Politikus-red) saat Pemilu atau Pilkada. Semuanya hanya sekedar janji. Padahal, kami sudah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bahkan kami juga telah menyumbangkan pembangunan di Provinsi Bengkulu. Semua hasil bumi kami juga berkontribusi pada daerah ini.
Selama ini kami menggunakan listrik Genset (Diesel), dalam satu malam kami menghabiskan 2 liter bensin, belum lagi oli-nya. Masjid kami juga hanya menggunakan lampu minyak, padahal setiap maghrib masjid sebagai sarana mengaji al-Qur’an bagi anak-anak.
Selain masalah Listrik. Yang terpenting adalah masalah Jalan. Hanya Walikota Ahmad Kennedy yang pernah membangun jalan, meski hanya sekedar pengerasan jalan. Kami mohon kiranya pemerintah paham akan kebutuhan infrastruktur jalan di daerah kami. Agar roda perekonomian akan lebih mudah. (mg3)