KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers

Jumat 09-12-2022,12:38 WIB
Editor : Zalmi Herawati

Seandainya, kelak  ada kegiatan pers yang sampai dikenakan pidana melalui pasal-pasal KUHP, di mata Wina berarti itu berupakan kejahatan terhadap peras. ”Itu termasuk kriminalisasi terhadap pers,” tuturnya.

 Wina berpendapat, pers hanya akan tumbuh sehat dalam lingkungan masyarakat dan bangsa yang demokratis, sedangkan sebagian dari pasal KUHP baru jelas bertentangan dengan alam demokrasi.

Wina memberi contoh, ketentuan KUHP mengenai penghinaan terhadap lembaga-lembaga negara, memberi hak kepada negara untuk menghukum orang yang mengeritik penguasa, sedangkan  lembaga negara dapat ditafsirkan dari tingkat kepresidenan  sampai tingkat kelurahan. 

 Dalam konteks ini, Wina mengkhawatirkan pelaksanaan pasal-pasal yang terkait penghinaan seperti itu dalam KUHP kelak dapat menimbulkan kerancuan  perbedaan antara tafsir kritik dengan penghinaan dan fitnah terhadap penguasa. Hal ini karena dalam praktek kelak yang melaksanakan isi KUHP bukanlah para anggota DPR yang mengesahkan KUHP sata ini, maupun para pejabat pemerintah yang kini berkuasa, tapi aparat hukum yang pasti punya tafsir tersendiri. “Ini alarem buat perkembangan demokrasi,” ungkapnya.

 

Fatal

Selain itu Wina Armada  juga mengecam tetap dimasukannya pasal-pasal _hazaai artikelen_  atau pasal-pasal permusuhan dan kebencian dalam KUHP. Dari sejarahnya,  terang Wina, ketemtuan ini sengaja diciptakan penjajah Belanda untuk membungkam pergerakan oragnisasi kemerdekaan Indonesia, dan menempatkan Ratu dalam posisi yang sakral yang tidak boleh dikritik. Kini dalam KUHP malah dipertahankan untuk menegakkan kewibawaan penguasa. Dengan demikian seakan-akan  rakyat dihadap-hadapan dengan penguasa. Dalam hal ini ada logika dan filosofi pembuatan KUHP yang sangat keliru.

    “Fatal!” tandas Wina.

    Mantan penyiar radio dan televisi ini menyatakan keheranannya, kalau berlakunya KUHP ada waktu transisi sampai tiga tahun, kenapa tidak mau mengundurkan sebentar pengesahannya untuk mengadopsi pasal-pasal perlindungan terhadap demokrasi. Dalam hal ini Wina memandang, “Akhirnya yang terjadi bukan legency di bidNg perundang-undangan, melainkan bom sosial.”

    Akhirnya Wina membeberkan,  KUHP peninggalan penjajah memang perlu diganti dengan KUHP produk nasional yang baru. Kendati begitu, menurut Wina,  pergantian itu tidak boleh hanya bajunya. Hanya casingnya, melainkan juga harus subtansinya. Disinilah Wina  sampai pada kesimpulan, “Justeru sepanjang terkait dengan pasal-pasal demokrasi, KUHP baru subtansi dan filoaofinya lebih kolonial dari kolonial. Jadi dari aspek ini bukan dekolonialosasi, tapi malah menjadi 

Kategori :